BAB IX

112 9 3
                                    

Beberapa hari setelah bertamu ke rumah Lidya, ketakutan selalu menyelubungi keluarga Hendro. Tak ada lagi keceriaan di sana. Hidup mereka selalu was-was. Bahkan papa tak bisa bekerja dengan tenang di pabrik teh. setiap malam Andina meminta Vera untuk menemaninya tidur. Andina merasa sangat takut, apalagi kejadian mengerikan itu masih teringat jelas di pikirannya. Setiap hari ia selalu melihat kalender yang terpasang di dinding kamarnya.

Vera berusaha menjadi kuat demi Andina dan kedua orang tuanya. Rasa takut yang selalu menghantui pikirannya tak pernah ia tunjukkan pada mereka.

"Tidurlah! Kamu tenang saja, Din! Malam ini pasti nggak akan terjadi apa-apa," ungkap Vera berusaha menenangkan Andina.

"Kakak yakin?" tanya Andina ragu.

"Tentu. Hari ini kan bukan tanggal 1 Maret. Kita bisa tidur nyenyak malam ini. Jadi, tidurlah! Kakak akan menjagamu." Vera lantas menarik selimut dan menyelimuti Andina.

Melihat Vera bersikap tenang seperti itu, Andina pun memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur. Di dalam hatinya, ia terus berdoa kepada Allah untuk meminta perlindungan dan keselamatan.

                                                                                   ***

Jam telah menunjukkan pukul 12 malam lewat 30 menit. Vera belum bisa tertidur. Kedua matanya terus ia pejamkan, tapi pikirannya terus gelisah akan nasib dirinya dan keluarganya. Suasana di rumah sejak tadi terlihat baik-baik saja. Tak terdengar suara jeritan ataupun kegaduhan. Sepertinya malam ini syal merah itu tidak akan meneror mereka.

Pukul 2 malam lewat, tiba-tiba berhembus angin yang sangat kencang. Semua kaca jendela di kamar Andina tiba-tiba pecah. Padahal, baru beberapa hari yang lalu papa mengganti semua kaca jendela kamar Andina yang pecah gara-gara syal merah itu. Vera yang baru saja tertidur pulas langsung terbangun. Wajahnya seketika pucat melihat syal merah itu terbang memasuki kamar Andina melalui kaca jendela yang pecah.

Sosok Salma seketika muncul. Ia menyeringai menatap Vera dan Andina. Andina yang baru terbangun langsung menjerit ketakutan.

Suara jeritan Andina berhasil membangunkan papa dan mamanya. Mereka segera turun dari ranjang dan berlari ke kamar Andina.

Vera dan Andina sangat ketakutan. Apalagi suara tawanya yang mengerikan membuat Vera dan Andina ingin segera lari dari kamar. Syal merah yang ada di leher Salma seketika terbang dan melilit leher Andina. Andina mendelik dan sukar bernapas. Vera berusaha untuk melepaskan syal merah itu, tapi lilitan syal merah itu terlalu kencang sehingga sukar sekali untuk melepasnya.

"Malam ini, terimalah ajal kalian berdua!" ucapnya dengan tawanya yang mengerikan.

Vera panik. Pikirannya kosong. Tangannya terus berusaha melepaskan syal merah itu.

"Hei... lepaskan dia!" bentak Vera ke arah Salma.

Salma segera menghentikan tawanya. Mata merahnya memandang Vera dengan tajam dan berkata, "Kau tak akan bisa melawanku, Vera! Lebih baik kau nikmati detik-detik kematian adikmu itu."

"Lepaskan dia! Dia tidak tahu apa-apa masalah antara kau dan Papa."

"Jadi kau sudah tau semuanya? Hendro harus merasakan apa yang kurasakan! Semua keturunannya harus mati!"

"Aku tahu Papa bersalah padamu, tapi semua itu bukan sepenuhnya salah Papa," bantah Vera, "Kau lebih memilih mengakhiri hidupmu daripada mempertahankan rumah tanggamu dengan Papa. Kau membunuh orang-orang yang tak bersalah karena sakit hatimu pada Papa. Kau juga salah, Tante Salma."

"Kau jangan membelanya! Aku akan membuatnya menderita, sama seperti yang dia lakukan padaku."

Papa dan mama berhasil masuk ke kamar Andina. Mereka berdua sama-sama terkejut saat melihat Andina sukar bernapas karena syal merah di lehernya. Mama segera menghampiri Andina di kasurnya dan membantu Vera melepaskan syal merah itu.

Misteri Syal MerahWhere stories live. Discover now