• Radio •

79 9 5
                                    

[Tema No. 8 – RADIO]

Radio
oleh Thiya_Rahmah

Sudah sepekan ini, radio kakek terpajang di ruang tamu. Benda setengah lingkaran yang terbuat dari kayu dan memiliki beberapa bulatan hitam tempat suara keluar dan mengganti siaran. Radio yang seminggu lalu menemani kakek di saat-saat terakhirnya.

Kakek bersikeras menghidupkan radio tersebut, apapun yang terjadi. Toh, karena ini permintaan terakhir. Kami tidak bisa melakukan apa-apa selain mengiyakannya. Ayah-Ibu nampak pasrah, bahkan ketika acara membacakan surah yassin harus dilatari gemerisik serak suara radio tersebut.

Kakek sudah lama mengidap batuk akut. Semakin parah dan menjadi-jadi. Ada hari di mana Kakek roboh dan terus terbatuk-batuk sampai mengluarkan darah bertubi-tubi. Batuk yang keras, penuh perjuangan, tersenga-sengal, seolah kerongkongannya akan lepas jika ia terus merunduk dan berusaha mengeluarkan lendir dari dalam paru-parunya.

Kakek memang seorang perokok berat. Satu bungkus kretek setiap hari, sambil minum kopi, membaca kitab kuning, dan menyetel radio rusak tak berfrekuensi. Kami sudah memintanya berulang kali untuk ganti alat hiburan seperti radio yang lebih canggih, televisi, dan ponsel. Tapi Kakek cuma menatap dingin pemberian kami di rumahnya tersebut. Seolah benda metal nan beku itu adalah barang antik yang tak boleh disentuh.

“Dulu, radio itu pemberian nenekmu,” begitu cerita Kakek, tiap kali kutanya kenapa ia bersikukuh menyimpan benda usang tersebut. “Sejak ia meninggal, hanya dengan menyalakan radio itu saja Kakek bisa merasakan ia ada di sini. Benar, di sini. Kau tidak lihat ia sedang duduk di sebelahmu sekarang?” Tawa Kakek meledak. Polos, riang, penuh binar haru, seolah Nenek di sebelahku juga sedang balas tertawa sekarang.

Aku cuma tersenyum kecut dan menyorongkan secangkir kopi pesanannya. Tidak mengerti jalan pikiran orang tua. Kakek kembali hanyut dalam musik rusak dari radio yang serak.

****

Sekarang rumah Kakek sudah kosong melompong. Rencananya tanah beserta aset bangunan di atasnya akan dijual sebagai harta warisan. Beberapa perabotan telah diloakkan, kecuali radio jadul tersebut. Radio yang kini tengah berdiri ringkih seolah mempertahankan kepongahannya di tengah gempuran jaman. Tidak peduli casan laptop, smartphone, dan kabel televisi lalu-lalang di atasnya sebagai penjaga stopkontak.

Ibu sebenarnya mau membuang benda tersebut, tetapi urung, karena Kakek begitu menyayangi radio itu beserta kenangan yang menyertainya.

“Ada kalanya kenangan dibuat untuk dikenang, bukan dibuang.” Ibuku berkata-kata, seperti filsuf kesasar dalam baju daster panjang buang-bunga.

Aku mengangguk saja dan berinisiatif membersihkan radio tersebut dengan mengelapnya menggunakan kain setengah basah. Kayunya masih berpelitur, meski sudah kikis di beberapa tempat. Bulatan untuk menyetel dan mencari gelombang masih utuh. Tapi percuma saja menghidupkan mesin ini sekarang. Jaman drama radio, berita dalam dunia, dan pembacaan kartu pos sudah lewat. Apalagi ini radio jaman bahula yang masih berfrekuensi FM, bukan AM seperti kebanyakan radio pop.

Lantas, entah setan mana yang mengisiki, aku menyalakan radio tersebut dan menunggunya bergemerisik. Masih, masih serak dan berisik. Aku memutar pencarian sinyalnya, tidak ada satu pun kanal yang ditangkap. Semua hanya berisi semut yang semakin lama semakin jelas dan nyaring.

Uhuk uhuk!

“Eh?!” Suara apa itu tadi?

Random EventTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang