Satu Filo

463 12 4
                                    

Perempuan itu menatap jalanan yang penuh keramaian. Jalan yang dulu ia anggap sebagai satu-satunya kota sunyi dan tak ada suara yang bergemang di setiap sudut pantulan kota. Tempat yang menjadi saksi matanya bercerita layaknya cerita tidur untuk mengantarkannya ke dunia mimpi.

Namun sekarang sudah berbeda, cerita dan angan itu hanya ia gerakkan dalam buku yang sekarang ia genggam di sela-sela jarinya.

"Untuk ke sekian kalinya aku kembali ke tempat ini. Kau tau? Semesta itu tidak mengembalikannya seperti dulu. Ia egois bukan?"

Perempuan itu segera mengambil kamera hitam putihnya dan mengambil gambar jalan itu untuk menjadi ceritanya dalam buku.

Perempuan itu segera mengambil kamera hitam putihnya dan mengambil gambar jalan itu untuk menjadi ceritanya dalam buku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Untuk : Senja yang tertidur

"Tinta. Apa kau tau? Hutan pinus yang kita jejaki dulu, sudah berubah menjadi jalan. Tangan manusia itu yang mengutuknya dengan sengaja. Dan sekarang, tak ada lagi kesunyian yang menjadi alasan kita kembali membuat jejak kaki. Jika kau mendengarnya, sampaikan pada semesta jika kota ini butuh satu ruang sunyi dari hiruknya keramaian"

☆☆☆

"Fi, bangun, Sofi sayang...." 

Kedua mata perempuan itu terbuka lebar. Ia bangun dari tidurnya dengan nafas terengah-engah. Tante Ana menghembuskan nafasnya lega. "Kamu mimpi buruk?"

Sofi tidak menjawab pertanyaan Tante Ana. Matanya langsung menatap ke arah seseorang yang terbaring lemah, dengan bibir pucat dan selang infus yang melekat di tangannya.

"Papamu belum sadar," sahut Tante Ana seakan mengerti. 

"Sofi titip papa ya, tan. Sofi mau keluar bentar." Sofi segera bangkit dari tempatnya dan berjalan ke arah papanya sembari mengenakan cardigan. Ia mengecup kening papanya dengan lembut, lalu berjalan keluar ruangan.

.

.

.

Perempuan itu melirik jam yang melingkar dipergelangan tangannya. Waktu masih menunjukkan pukul 3 sore. Ia menatap ke atas, melihat awan yang mulai mendung tanda hujan akan turun. Matanya beralih ke arah bangun-bangunan yang menjulang tinggi. Seketika memori itu kembali teringat, ia memejamkan matanya.

"Pa, kok itu lumahnya tinggi cih?" tanya perempuan berkucir dua itu polos. Papanya tersenyum hangat memandang putrinya. Lalu ia jongkok, menjajarkan tubuhnya. 

"Itu bukan rumah Sofi, itu namanya Gedung pencakar langit," ujar papanya sambil mencubit pipi merah Sofi. 

"Pencakal langit?" Sofi mengernyitkan keningnya, bingung. "Hmm... blalti gedungnya bica cakal langit dong, pa?" 

Papanya tertawa geli memandang Sofi yang masih polos. " Nanti kalau udah besar kamu ngerti kok." Sofi hanya tersenyum lalu menganguk.

"Kalau sofi udah besal, sofi mau ke situ," perempuan itu menunjuk ke arah monas. "Nanti sofi pake gaun ungu kayak putli sofia!" Sambungnya girang lalu memeluk boneka ungu di tangannya.

FiloSofiWhere stories live. Discover now