Chapter 50

945 61 0
                                    

"Wah. Nyanyi sama lo bikin untung gue tambah banyak Sha."

Marsha : "Ah itu mah bisa-bisanya kamu aja."
Devin : "Eh beneran lagi hehe."
Kemudian Devin kembali merapikan uang yang tadi ia hitung.
Devin : "Sha, lo mau ngerasain gimana rasanya jadi gue gak?"
Marsha mengerutkan dahinya mendengar ucapan Devin.
"Mmm. Mau.", jawab Marsha ragu.
Devin : "Lo pernah naik angkutan umum gak?"
Marsha : "Pernah sih. Tapi dulu waktu aku kecil, sama bibi pergi ke pasar."
Devin : "Kalau gitu, yuk lo sekarang ikut gue."
Devin menggandeng tangan Marsha. Tapi kemudian Marsha terhenti.
Marsha : "Eh eh tunggu dulu. Kemana?"
Devin : "Katanya lo mau ngerasain gimana rasanya jadi gue?"
Marsha masih tak mengerti apa maksud Devin. Tetapi kemudian Devin tetap menggandeng tangan Marsha begitu saja.
Devin menggandeng Marsha ke pinggir jalan dan menghentikan angkutan umum.
"Yuk masuk.", ujar Devin sambil terus menggandeng tangan Marsha.
Marsha : "Eh tapi Dev..."
Devin : "Udah ayo."
Akhirnya Marsha mengikuti kemauan Devin. Ia menaiki angkutan umum berdesak-desakan dengan penumpang lainnya. Dan ia tak tahu kemana Devin akan membawanya pergi.
Sesaat kemudian...
"Bang turun bang!", teriak Devin.
Kemudian Devin menarik tangan Marsha turun dari angkutan umum itu. Marsha hanya diam mengikutinya.
Saat turun dari angkutan umum, Marsha pun langsung mengeluarkan dompetnya dan mengambil selembar uang 50.000 dari sana dan memberikannya pada sang supir.
"Eh eh. Jangan.", Devin langsung mencegah Marsha.
Kemudian Devin memberikan uang 10.000 pada supir angkutan umum itu. Dan Devin juga mendapat kembaliannya.
Marsha menatap hal itu bingung.
"Udah jangan bingung. Yuk sekarang ikut gue lagi.", Devin membawa Marsha ke suatu tempat dimana banyak rumah-rumah kecil yang terbuat dari kayu. Banyak anak-anak yang berlarian disana, namun mereka berpakaian kumuh.
Marsha : "Dev, kamu mau bawa aku kemana?"
Devin terdiam tetapi terus melangkahkan kakinya memimpin jalan Marsha. Kini mereka berjalan ke arah suatu rumah kecil yang terlihat sangat sederhana.
Devin berhenti tepat di depan rumah itu. Begitu pula Marsha.

"Ini rumah gue sekarang Sha.", ujar Devin sambil menghela nafas.

"I..i..ini rumah kamu?", Marsha kaget.
Dulu Devin tinggal di sebuah rumah yang sangat besar dan luas, kini dirinya harus sampai tinggal di rumah sesederhana ini.
Devin kemudian masuk ke dalam rumahnya dan mempersilahkan Marsha masuk.
Devin : "Gue tinggal disini sama bokap gue."
"Oh. Terus papa kamu mana sekarang?", tanya Marsha sambil terus melihat-lihat isi rumah tersebut.
Devin : "Bokap gue lagi kerja Sha. Mungkin bentar lagi pulang."
Marsha mengangguk mengerti.
"Aku salut sama kamu Dev. Kamu tetep bisa bertahan dengan kondisi kamu yang sekarang.", Marsha tersenyum menatap Devin.
Devin : "Sha, gue juga sedih sebenernya. Tapi biar gimanapun, hidup gak berhenti cuma sampai disini aja kan?"
Marsha : "Aku bangga sama kamu."
Devin salah tingkah dibuatnya. Ia hanya mampu menggaruk-garuk kepalanya saja.
Devin : "Eh Sha, udah malem ternyata. Lo gue anterin pulang ya? Tenang, gue pinjem motor tetangga hehe."
Marsha hanya mengangguk mengiyakan tawaran Devin. Kemudian Devin mengantar Marsha pulang. Entah kenapa, Marsha sangat senang karena hari ini dia sudah bisa kembali bertemu dengan Devin. Devin pun merasa demikian, ia senang akhirnya dapat kembali mengobrol dengan Marsha setelah beberapa hari ini menghindar.

***
Malvin dan Vanya kini sudah sampai di depan ruang inap Fani.
Sebelum membuka pintu, mereka berdua saling beradu pandang. Seolah sedang meyakinkan diri satu sama lain untuk masuk. Akhirnya pun mereka berdua masuk ke ruangan itu.
Saat mereka membuka pintunya, terlihat Fani yang sedang mencoba untuk turun dari tempat tidurnya dan berjalan. Padahal ia tahu kakinya sedang patah. Tentu saja Fani hilang keseimbangan dan terjatuh.
"Auw!", teriak Fani kesakitan.
"Fani!", dengan sigap Vanya berlari dan menolong Fani agar kembali bangkit. Sementara Malvin hanya melongo saja.
Fani mencoba untuk berdiri dengan bantuan Vanya.
"Thanks Van.", ujar Fani.
Mendengar ucapa Fani itu membuat Vanya dan Malvin kembali beradu pandang.
"Seorang Fani bilang 'thanks'?", batin Vanya.
Malvin kemudian berjalan mendekat.

"Kamu mau ngapain sih Fan?", tanya Malvin.
"Aku mau duduk di luar Vin, cari udara seger. Disini sumpek.", jawab Fani.
"Ya udah sini gue bantuin.", Vanya membantu Fani untuk berjalan dengan memapah tubuhnya. Melihat hal itu akhirnya Malvin pun ikut membantu.
Fani memandangi Vanya dan Malvin secara bergantian. Ada perasaan bersalah dalam hati kecil Fani.

***
"Bas, lo yang tenang ya. Lo gak boleh banyak pikiran.", ujar Key mencoba menenangkan Bastian.
Kemudian Key tertunduk sedih. Ia menghela nafasnya panjang. Ruth menyadari raut wajah Key berubah.
"Lo kenapa?", tanya Ruth pada Key.
"Gue kesini mau pamitan sama kalian."
Bastian dan Ruth saling beradu pandang tak mengerti apa maksud perkataan Key.
"Key, bakal pindah ke Australia.", ujar Alif yang juga berada diantara mereka bertiga.
Bastian kaget. Ia menatap wajah Key seolah tak percaya dengan ucapan Alif.
"Key? Apa itu bener?", tanya Bastian mencoba memastikan.
Key mengangguk sedih.
"Gue udah putusin buat ikut kemauan bokap sama nyokap gue. Semoga ini yang terbaik. Gue pengen keluarga gue bisa utuh lagi kayak dulu.", tak terasa air mata Key menetes di pipinya.
Ruth memeluk Key kemudian. Key menangis disana.
"Gue pasti bakal kangen banget sama kalian.", ujar Key setelah melepaskan pelukan Ruth.
Bastian : "Key, gue sedih lo bakal pergi ninggalin kita. Tapi gue berharap, apa yang jadi harapan lo lewat keputusan ini bisa terwujud ya. Gue selalu doain yang terbaik buat lo."
Ruth : "Key, lo jangan lupain kita ya."
Key menggelengkan kepalanya.
Key : "Gue gak akan pernah bisa lupain kalian semua. Satu persatu dari kalian, udah bikin warna tersendiri di hidup gue. Kalian adalah salah satu bagian terindah di hidup gue, yang pernah gue miliki."
Alif hanya terdiam menyaksikan itu semua. Tetapi di balik diamnya, ia juga merasakan sedih.
Kemudian Key menghapus air matanya dan tersenyum.
"Udah. Gue gak mau sedih-sedihan lagi. Ini keputusan gue sendiri. Gue kan masih bisa ketemu kalian.", ujar Key.
Alif : "Terus lo berangkat kapan Key?"
"Besok Lif.", jawab Key singkat.
Kemudian Key terdiam sejenak dan kembali tersenyum.

The Colours Of LifeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora