Chapter 46

897 56 0
                                    

"Ya udah Ruth. Kayaknya gue sama Malvin duluan ya? Masih ada urusan nih hehe."

Ruth : "Cie berduaan mulu nih kayak perangko haha. Ya udah Van."
Vanya : "Lo jangan begadang mulu. Ntar malah ikut sakit lagi."
Ruth hanya tersenyum. Kemudian Vanya dan Malvin pergi meninggalkan Ruth, dan Ruth kembali masuk untuk menemani Bastian.

***
"Rid, kayaknya gue mesti balik deh. Malem ini bokap balik soalnya. Lo gakpapa kan ditinggal sendiri?", ujar Key pada Ridwan.
Ridwan : "Iya Key santai aja. Gue jagain Zalfa terus kok."
Key : "Oke. Bye Rid."
Key pulang ke rumahnya. Dan Ridwan masih setia menemani Zalfa. Ia selalu berharap, jika Zalfa sadar nanti, Ridwan lah orang pertama yang dilihatnya.

***
"Bas.", ujar Ruth.
Bastian : "Gue mau ketemu Zalfa."
Bastian mencoba bangkit dari tempat tidurnya.
Ruth pun dengan segera mencegahnya.
"Eh Bas Bas. Lo masih lemes. Lo bisa liat Zalfa nanti kalau lo udah sembuh. Ya?", Ruth memegangi tangan Bastian.
"Gak Ruth. Gue pengen liat dia.", Bastian tetap bersikukuh untuk melihat Zalfa, ia pun memaksakan dirinya untuk turun dari tempat tidurnya.
Ruth : "Bas, lo jangan maksain diri lo gini."
Bastian : "Biarin gue ketemu Zalfa."
Karena Bastian memaksa untuk menemui Zalfa, akhirnya Ruth pun membiarkannya meskipun ada rasa khawatir di hatinya karena Bastian belum tahu jika Zalfa sedang terbaring koma.
Bastian berjalan dengan lemah. Ia melangkah dengan perlahan. Ruth menjaga Bastian dari belakangnya.
Saat Bastian berjalan ke arah ruang inap Zalfa, saat itu juga Ridwan keluar dari kamar itu dan menutup pintunya. Ridwan berpapasan dengan Bastian.
"Bas, lo ngapain disini? Lo harusnya istirahat di kamar lo.", ujar Ridwan.
Bastian : "Gue mau ketemu Zalfa."
Ridwan terdiam sejenak lalu menatap Ruth.
Ruth : "Gue udah coba larang dia."
"Gue mau ketemu sama Zalfa. Lo minggir.", Bastian kembali berjalan mencoba untuk melewati Ridwan yang berdiri di hadapannya.
Ridwan hanya mencoba untuk bersabar. Ia menghela nafas panjang dan membiarkan Bastian melihat kekasihnya itu.
Bastian membuka pintu ruang inap Zalfa. Ia melihat Zalfa yang terbaring lemah disana.

"Zal.", ujar Bastian sambil berjalan mendekat ke arah Zalfa.

Ridwan : "Udah puas lo sekarang?"
"Rid, Zalfa kenapa?", tanya Bastian bingung melihat keadaan Zalfa.
Ridwan : "Zalfa koma. Udah puas lo bikin Zalfa kayak gini? Ini semua buah dari keegoisan lo."
"Zalfa koma?", Bastian kemudian menatap wajah Zalfa. Air matanya menetes.
Bastian : "Zal, bangun. Zal! Zalfa bangun!"
"Enggak!", Bastian memegangi kepalanya sambil menangis lalu ia terduduk di lantai.
"Enggak. Lo gak boleh koma Zal.", ujar Bastian sambil terisak.
Bastian kemudian kembali bangkit.
"Zal bangun! Lo harus bangun Zal.", Bastian menggoyang-goyangkan tubuh Zalfa yang terbaring.
Bastian tampak sangat terpukul setelah melihat kondisi Zalfa. Apalagi Bastian tahu ini semua terjadi karenanya.
Ruth hanya mampu menangis melihat Bastian saat itu.
"Zal bangun!", teriak Bastian.
"Bas! Cukup!", Ridwan membalas teriakan Bastian.
Ridwan : "Percuma Bas. Sekarang apa lo udah puas bikin dia kayak gini? Lo seneng? Harusnya lo sadar Bas. Kalau lo punya otak harusnya lo bisa mikir."
Bastian hanya terus menangis menyesali perbuatannya sambil menatap Zalfa.
Ridwan : "Sekarang dia udah koma kayak gini lo bisa apa hah?"
"Rid, udah.", Ruth berusaha menengahi mereka berdua.
"Zalfa, lo bangun Zal. Bangun.", Bastian memegangi tangan Zalfa. Tetap tak ada respon disana.
"Udah sekarang lo balik ke kamar lo!", Ridwan melepaskan tangan Zalfa dari Bastian sambil mendorong tubuh Bastian keluar dari ruangan itu.

Kemudian Ruth membantu Bastian berjalan ke kamarnya. Bastian masih sangat shock sekarang.
Sesampainya di ruangan, Bastian langsung menjatuhkan piring dan gelas yang ada di atas lemari saat itu.
"Ini semua salah gue", sesal Bastian. Ia kembali terduduk di lantai.
Bastian mengambil pecahan piring yang ada di sampingnya lalu mencoba untuk menyayatkan di tangannya.
Melihat hal itu tentu saja Ruth langsung bergerak untuk menghentikannya. Dengan segera ia mendorong tangan Bastian sehingga pecahan piring itu lepas dari tangannya. Lalu Ruth memeluk Bastian sambil menangis.
"Lo gak boleh kayak gini Bas.", ucap Ruth.

Bastian : "Ini semua salah gue Ruth. Semua salah gue. Zalfa jadi kayak gini itu karena gue."

Ruth : "Enggak Bas. Enggak. Ini bukan salah lo. Lo berhenti nyakitin diri lo sendiri. Zalfa juga pasti sedih kalau ngeliat lo kayak gini."
Bastian kembali menangis.
Bastian : "Gue terlalu egois Ruth. Gue cuma mikirin ego gue sendiri."
Bastian sangat menyesali perbuatannya.
Ruth kemudian menatap Bastian sambil memegangi kedua tangannya.
Ruth : "Bas, gue harap dengan ini lo bisa sadar. Cinta itu gak bisa kita paksain sesuai dengan apa yang kita mau. Mungkin Zalfa bukan yang terbaik buat lo. Gue juga ngerasain gimana rasanya jadi lo sekarang Bas, ketika orang yang kita cintai, ternyata justru cinta sama orang lain. Gue ngerasain Bas. Gue ngerti gimana sakitnya. Tapi hidup itu bukan sekedar cuma mikirin cinta kita aja. Lo juga harus pikirin kebahagiaan Zalfa. Sama kayak gue mikirin kebahagiaan lo Bas."
Bastian terdiam, "Ruth bener. Gue gak boleh egois. Selama ini gue selalu maksain kehendak gue sendiri. Gue musuhin dari Malvin karena ego gue. Sekarang gue jauh Zalfa kayak gini juga karena ego gue. Ya ampun Bas, kenapa lo bego banget sih.", sesal Bastian dalam hati.
Bastian memandang wajah Ruth.
"Gue selama ini selalu mikirin keinginan gue. Gue gak pernah mikirin perasaan orang lain. Ruth. Dia yang selalu ada buat gue. Tapi betapa bodohnya gue selalu mengabaikannya tanpa peduliin perasaan dia. Ruth udah banyak berkorban buat gue.", batin Bastian berbicara.
Ruth menyadari bahwa Bastian daritadi terus memandanginya.
"Bas, lo kenapa?", tanya Ruth.
Bastian : "Mmm. Enggak. Gakpapa Ruth. Thanks ya. Thanks buat semua yang udah lo lakuin ke gue."
Ruth kemudian tersenyum dengan begitu tulus pada Bastian dan mengangguk, "Iya Bas.", jawabnya singkat.
Ruth : "Sekarang lo istirahat ya."
Bastian membalas senyuman Ruth sambil kemudian naik ke tempat tidur.

***
"Fan, lo makan ya.", ujar Vanya mencoba menyuapi Fani.
"Prang!", Fani melempar piring yang dipegang Vanya itu.
Fani menangis tersedu-sedu kemudian.
Vanya menatap Malvin, kemudian memberi isyarat pada Malvin untuk menenangkan Fani.

The Colours Of LifeWhere stories live. Discover now