Chapter 44

850 56 1
                                    

Kini Marsha sudah kembali ke depan ruang inap Zalfa.
"Tok tok tok.", Marsha mengetuk pintu.
"Eh Marsha. Sini sini masuk.", ujar Key yang melihat Marsha datang.
Disana juga ada Ridwan yang sedang terduduk menemani Zalfa. Ridwan menoleh.
Ridwan : "Lo bukannya Marsha ya? Yang waktu itu nolongin gue?"
Marsha baru mengingat siapa Ridwan.
Marsha : "Oh iya. Kamu Ridwan ya? Ya ampun kok kita bisa ketemu disini?"
Key : "Loh? Kalian berdua udah saling kenal?"
Marsha mengangguk.
"Iya kak.", sahut Marsha.
Kemudian Marsha melangkah masuk.
Key : "Ini Zalfa Sha."
Marsha melihat sahabatnya yang terbaring lemah di hadapannya. Air matanya menetes.
Marsha : "Zal."
Marsha memeluk tubuh Zalfa kemudian. Ia sangat rindu pada sahabatnya itu.
Marsha : "Zal, aku kangen sama kamu. Kenapa kamu bisa kayak gini?"
Key dan Ridwan hanya menatap Marsha sedih.
Marsha : "Zal, kamu pasti sembuh kan? Kita bakal ketawa-ketawa lagi kayak dulu, bercanda, kamu ngeledekin aku. Zal, katanya kamu mau jagain aku. Bangun dong Zal."
Marsha menangis tersedu-sedu memeluk Zalfa.
Marsha : "Zal, kamu inget gak? Dulu kita pernah dihukum bareng di lapangan gara-gara gak ngumpulin PR? Kamu bilang, itu pertama kalinya kamu dihukum selama sekolah. Kamu sedih banget waktu itu. Kamu inget kan Zal?."
Zalfa masih tak memberikan respon apapun terhadap Marsha.
Marsha : "Zal, kamu inget gak? Sebelum lulus sma kita pernah janji buat sukses bareng-bareng suatu hari nanti. Kamu bilang, kamu mau bikin sahabat kamu ini bangga punya sahabat kayak kamu. Kamu bangun dong Zal. Kita selesain janji kita bareng-bareng. Kamu jangan diem kayak gini."
Air mata Marsha semakin mengalir deras.
Marsha : "Kamu itu udah kayak saudara aku sendiri Zal. Aku kangen kamu."
Marsha memeluk Zalfa lagi. Ia terdiam disana sambil terus memeluk Zalfa berharap Zalfa akan membalas memeluknya.
Key kemudian melangkah mendekat mencoba menenangkan Marsha.
Ridwan hanya memandangi Marsha dengan mata berkaca-kaca.

***
"Dev, gue keluar sebentar ya beli minum. Haus.", ujar Vanya pada Devin.
Devin : "Iya Van."
Kemudian Vanya meninggalkan Devin bersama Fani yang masih belum sadarkan diri.

***
Malvin sedang berjalan di parkiran menuju mobilnya untuk mencari Vanya.
Baru saja Malvin menghidupkan mesin mobilnya. Matanya tak sengaja tertuju pada warung yang berada di dekat parkiran itu.
"Itu Vanya.", ujar Malvin setelah melihat seseorang yang sedang berada di dalam warung itu.
Dengan segera Malvin mematikan mesin mobilnya dan turun berlari ke arah Vanya.
Dugaan Malvin memang benar. Itu Vanya.
"Vanya!", teriak Malvin memanggil Vanya yang sudah akan meninggalkan warung itu.
Vanya menoleh. "Malvin.", sahutnya.
Malvin : "Van, kamu kemana aja? Semuanya panik nyariin kamu."
Vanya bingung harus menjawab apa.
Vanya : "Gu...gu...gue. Gue nemenin Fani."
Malvin : "Nemenin Fani? Terus Faninya mana sekarang?"
"Mmm...Fani...Fani...", Vanya semakin bingung.
Akhirnya Vanya terpaksa menceritakan semua yang terjadi pada Fani pada Malvin.
"Apa? Terus dia dimana sekarang?", Malvin kaget.
Vanya : "Ayo ikut gue."
Malvin mengikuti langkah Vanya.
"Van, kamu gak tau aku cemas banget nyariin kamu?", Malvin keceplosan.
Vanya : "Eh gimana Vin?"
Malvin : "Eh mmm. Maksud aku, tadi kita semua bingung nyari kamu. Masa udah 2 jam belum nyampe sini juga."
Vanya : "Oh hehe. Terus gimana keadaan Bastian dan Zalfa?"
Malvin : "Tadi aku baru ketemu Bastian aja sih. Dia udah sadar kok."
Vanya : "Syukur deh."
Vanya menghela nafas lega.

***
Sementara itu...
Devin masih menunggu Vanya di ruangan itu. Menatap Fani yang masih terbaring.
Devin : "Fan, Fan. Sayang banget wajah cantik lo ketutup sama kelakuan jahat lo."
Tak lama kemudian mata Fani terlihat mulai membuka perlahan.
"Dia sadar.", ucap Devin kaget.
Kini Fani benar-benar sadar. Ia melihat ke sekitarnya, kemudian menatap Devin.
"Gue dimana? Lo...? Lo...?", belum sempat Fani selesai bicara Devin sudah langsung memotongnya.
"Gue panggilin dokter dulu ya.", ujar Devin.
Kemudian Devin pergi meninggalkan Fani disana. Fani masih tetap terbaring lemah dan belum menyadari jika kaki kanannya patah.
Tak lama kemudian Vanya dan Malvin datang.
"Loh? Lo udah sadar?", Vanya kaget melihat Fani yang sudah sadar.

"Vanya. Malvin.", ucap Fani yang melihat kedatangan mereka.
"Eh kok lo sendirian? Mana si De...?", Vanya berhenti bicara. Ia baru mengingat jika Devin tidak ingin orang lain tau jika Vanya baru saja bertemu dengannya.
Malvin menatap Vanya heran.
Malvin : "Kamu tadi mau ngomong apa Van?"
Vanya : "Mmm. Enggak enggak."
Fani : "Vin..."
Tak lama kemudian dokter datang. Devin mengikuti dari belakang. Namun langkah Devin terhenti setelah melihat ada Malvin disana, ia memutuskan untuk mundur dan pergi dari rumah sakit itu.
"Vanya ngapain sih bawa Malvin kesitu? Untung dia gak ngeliat gue tadi.", gerutu Devin sambil terus melangkah pergi.

***
Kini dokter sedang memeriksa keadaan Fani. Saat diperiksa, Fani baru menyadari bahwa dia tidak bisa merasakan kaki kanannya.
"Dok, kok kaki kanan saya gak bisa gerak ya?", ucap Fani kaget.
Vanya dan Malvin hanya saling tatap.
Dokter menatap Vanya sejenak, kemudian menceritakan yang sebenarnya pada Fani.
"Apa?", teriak Fani setelah mendengar penjelasan dari dokter itu. Mata Fani berkaca-kaca.
Fani : "Enggak dok! Saya gak mau! Saya gak mau kayak gini! Saya pengen jalan kayak biasa dok!"
Dokter : "Saudara Fani, harap tenang ya. Pasti kamu akan sembuh kok secara bertahap. Kamu harus bersabar menunggu proses penyembuhannya."
Fani : "Enggak dok! Enggak!"
Kemudian Fani menatap Vanya tajam.
"Ini semua gara-gara lo!", bentak Fani sambil kemudian melempar semua barang yang ada di sekelilingnya ke arah Vanya.
"Fan, stop Fan.", ujar Malvin melindungi Vanya dari lemparan barang itu.
"Cewek brengsek!", Fani terus melempari Vanya.
Akhirnya Malvin memutuskan untuk membawa Vanya keluar dari ruangan itu agar dokter yang menenangkan Fani.
Vanya terlihat shock. Ia kemudian memeluk Malvin dan menangis dalam pelukannya.
"Kamu gak salah Van.", ucap Malvin sambil terus memeluk Vanya.
Vanya meluapkan tangisnya dalam pelukan Malvin.

***
Devin kini sudah berada di luar rumah sakit itu. Ia mengingat kembali saat dimana ia melihat Marsha tadi.
"Sha, gue kangen sama lo.", ucap Devin dalam hati.
Ada alasan tersendiri mengapa Devin terkesan menghindar dari Marsha.

Dan Devin rasa memang lebih baik dirinya menghindar...

The Colours Of LifeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora