32 - BRINGING BACK THE MEMORIES

Comenzar desde el principio
                                    

Ketika Karan masih belum yakin mampu meninggalkan Egil sendirian, pria itu menggenggam tangan Karan dan mendekatkannya ke wajahnya. Dia mendaratkan kecupan lembut. "Aku akan baik-baik saja."

"Oke."

Senyum Egil terkembang. "Kamu bisa ambil bus nomor 756 dari Praça de Espanha kemudian turun di Calvário. Ikuti saja jalan besar, kamu tidak akan tersesat begitu sampai di sana. And take the same bus on the way back. Kalau kamu bingung, kamu bisa telepon."

"Kamu yakin akan baik-baik aja aku tinggal?"

"I'll be fine."

"Aku akan tetap bawa sarapannya ke sini, dan aku akan pergi setelah kita sarapan." Karan bangkit dari tempat tidur dan berjalan meninggalkan Egil, tetapi berhenti begitu dia mencapai pintu kemudian membalikkan tubuh. "By the way, I've never seen you sick before."

Egil tergelak. "I am a super human, Karan, but some days, I can't help but be a commoner."

***

Chocolate cake yang dipesan Karan di Landeau Chocolate—tempat yang hanya punya satu menu—tinggal seperempat. Saking enaknya, dia tidak mau terburu-buru menghabiskannya. Ide yang mengaliri kepalanya tanpa henti perlahan mulai dia tuangkan ke dalam notebook yang isinya hampir separuh terisi.

Setelah berkeliling dan menyaksikan berbagai barang yang dijajakan di flea market, Karan membeli satu set perhiasan buatan tangan untuk Zola—terdiri dari kalung, anting, dan gelang yang cukup membuat dompetnya menipis—dan satu syal yang langsung mengingatkannya akan mata Egil ketika melihat warnanya. Untuk dirinya sendiri, Karan membeli satu sandal kulit karena dirinya tidak membawa sandal dari Indonesia untuk musim panas. Setelah lelah mengelilingi LX Factory, Landeau Chocolate menjadi tujuannya untuk melemaskan otot sekaligus memuntahkan inspirasi yang didapatkannya sejak meninggalkan apartemen.

Kesibukan tempat itu tidak mengganggu Karan. Mengamati setiap pengunjung disertai riuh orang-orang bercakap dalam bahasa Portugis justru memperkuat ide-idenya. Sesekali dia mengetik pesan ke Egil, menanyakan keadaannya, dan berusaha tidak menimbulkan tawa keras saat pria itu menceritakan lelucon khasnya. Seperti beberapa detik sebelumnya, Egil mengiriminya pesan, "Do you know why the inventor of umbrella called it umbrella?" Saat Karan menjawab bahwa dia tidak tahu, Egil membalas, "He was going to call it 'brella' but he hesitated. That's why it's called umbrella."(1) Dia masih berusaha menahan tawa ketika telinganya menangkap namanya dipanggil.

"Karan?"

Jantung Karan seperti tahu, bahwa suara itu tidak pernah gagal mengacaukan ritmenya. Dia memejamkan mata sesaat, berharap apa yang didengarnya hanyalah ketidaksinkronan antara otak dan indera pendengarnya. Namun harapannya buyar begitu dia mengangkat wajah. Pria yang sudah setahun tidak ditemuinya, berdiri dengan senyum yang begitu leakat dalam ingatan. Kacamata hitam wayfarer yang tersangkut di saku kemeja putih telurnya serta topi kep putih polos yang menutupi rambutnya, segera dia lepaskan. Rambut-rambut tipis yang memenuhi dagu Oscar James pun tidak luput dari perhatian Karan.

"Boleh aku duduk di sini?"

Karan menelan ludah sebelum mengangguk. Keterkejutannya masih terlampau kuat untuk mengeluarkan kata-kata. Matanya mengikuti setiap gerakan Oscar saat pria itu menarik kursi yang ada di depannya dan langsung duduk. Dengan cepat, Karan menutup notebook yang masih terbuka dan bergegas memasukkannya ke dalam tas, berharap mata Oscar tidak sempat memperhatikan benda bersampul kulit itu.

"Apa kabar, Karan?"

"Aku baik."

"I can't believe I ...."

AS TIME GOES BYDonde viven las historias. Descúbrelo ahora