9. Revolusi

703K 72.7K 11.4K
                                    

Sore yang cerah.

Seperti biasa, Arlan datang ke rumah Kana untuk menemui sang sahabat. Membawa satu box donat beraneka rasa untuk Kana. 

Arlan masih khawatir soal percakapan Selly dan kedua temannya. Takut yang mereka katakan membekas di hati Kana.

Kana memang tidak mengucapkan apapun. Namun, hati manusia siapa yang bisa menebak kecuali Tuhan dan siempunya.

Saat masuk ke rumah Kana. Arlan justru disuguhi Kintan yang menangis terisak-isak di ambang pintu. Khawatir. Arlan mendekat dan bertanya, "Tante kenapa?"

"Tante terharu." Kintan curhat. "Pulang kerja barusan, Tante lihat rumah udah dipel sama sapu. Udah ada makan malam juga di meja makan."

Kintan mencengkeram lengan Arlan. Tersenyum lebar, "Arlan. Kana udah berubah, kamu bisa secepatnya nikahin Kana."

Arlan terperangah.

Kana beres-beres rumah?

Dia bahkan mau memasak?

Apa ini penyebab orang-orang sering berkata kiamat sudah dekat?

"Tante serius?"

"Tante seribu rius."

Arlan tersenyum lebar. Dia hendak masuk ke rumah lebih dalam tapi Kintan menahannya. Arlan berkedip. Dia bergeser ke sisi kanan, Kintan ikut bergeser menghalanginya.

Arlan geser ke sisi kiri. Lagi-lagi dia dihalangi.

"Tante, saya mau ketemu Kana. Saya ikut bangga kalo Kana udah bisa urus diri sendiri bahkan rumah." Arlan menjelaskan.

Kintan tampak canggung. Dia menyusut wajah basahnya cari-cari alasan, "Kana lagi capek. Dia tidur."

"Saya gak bakalan ganggu. Cuma mau kasih dia donat aja. Anggap sebagai hadiah."

"Biar Tante aja yang kasih."

Keras kepala. Arlan mulai merasakan sesuatu yang tidak beres. Apa yang Kintan sembunyikan darinya? Kenapa dia tidak boleh melihat keadaan Kana?

Arlan menghela napas lalu mengangguk. "Hm. Kalo gitu saya pulang dulu."

"Iya, hati-hati pulangnya. Jangan lupa, nanti kita tentuin pernikahan kalian."

"Gak bakalan pernah, Tante." Arlan mengulum sunggingan manis. Dia berbalik, selangkah nyaris meninggalkan rumah. Cepat-cepat dia memutar arah dan lari menuju kamar Kana.

"ARLAN!!!" Kintan mengejarnya. Tidak akan membiarkan Arlan menemui Kana yang sekarang.

Arlan sampai di depan kamar Kana, secepatnya dia membuka pintu.  Yang dia lihat adalah-

Kana berbaring di ranjang, berselimut tebal, dengan napasnya yang terengah-engah.

Kulitnya pucat pasi.

"Na..." Arlan masuk. Dia duduk di sisi ranjang, menatap Kana khawatir. "Lo sakit? Badan lo panas banget. Perasaan tadi di kampus baik-baik aja."

Pelan-pelan, Kana membuka mata. Dia melirik Arlan lewat ekor matanya, "Gue... Sekarat kayaknya."

"Jangan aneh-aneh." Arlan mengompres Kana telaten. Dia menoleh, menyorot Kintan. "Tante, sebenernya Kana kenapa? Tante bilang hari ini Kana beres-beres bahkan masak? Kok malah demam gini?"

"Tante gak boong. Tadi Kana emang nyapu, ngepel, sama masak." Kintan tidak terima dituduh berdusta. Dia berpaling dengan wajah yang lagi-lagi begitu putus asa. "Setelahnya, dia langsung demam tinggi kayak sekarang. Dokter bilang kecapekan."

Arlan kehabisan kata-kata. Seumur hidup baru kali ini dia melihat orang sakit hanya karena melakukan pekerjaan rumah yang ringan saja.

Kana... Benar-benar tidak punya harapan.

"Itu sebabnya, Arlan." Kintan menatap Arlan memohon. "tolong nikahi Kana."

"Jangan bahas itu sekarang, Ma." Kana bicara parau. Manik redupnya berair. "Arlan udah punya pacar dari tiga hari yang lalu."

"ASTAGFIRULLAH!!!"

"Tapi hari ini mereka putus."

"ALHAMDULILLAH!!!"

***

FRIENDSHIT (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang