(28) Berapa lagi?

44.2K 3.5K 297
                                    

Masih ada berapa lapis
luka lagi? Banyak? Oh oke,
aku tunggu.

-El-

Mobil hitam milik Vina yang sering dikendarai Tristan baru saja terparkir rapi di halaman rumah besar bercat putih. Mereka sudah pulang, hari ini setelah acara di rumah Devan selesai, anak-anak itu memutuskan untuk pulang ke rumah dan beristirahat. Maklum, besok adalah hari senin yang konon begitu menyeramkan bagi orang-orang tertentu.

Vina keluar dari mobil dan segera masuk ke dalam rumah tanpa berbicara sepatah katapun. Di dalam kamar, gadis itu terdiam ketika melihat fotonya bersama Varo masih tergantung rapi di salah sudut ruangan.

Lo dimana?

Ia menghembuskan nafas pelan, melepas sepatu, dan segera masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.

Membersihkan diri? membersihkan hatinya juga?

Vina keluar dengan rambut yang masih basah. Seperti biasa, ia hanya mengenakan kaus polos bewarna navy dengan hot pants putih setengah paha. Di depan kaca, gadis itu kembali bangkit ketika sesuatu terbesit di kepalanya. Varo yang dulu menyisirinya, Varo yang dulu membantunya mengeringkan rambut, Varo yang dulu, ah sudahlah, garis bawahi kata dulu.

Dilain sisi, Ara, Tristan, Liona, dan Devan sedang membuka lebar mulut dan kedua mata mereka ketika membaca selembar surat yang baru saja dikirimkan oleh kurir.

"Ada kak Vina." bisik Liona membuat Ara cepat-cepat menyembunyikan kertas itu di belakang punggungnya.

"Eh Vina, lo mau makan? atau mau pinjem hair dryer gue? atau mau hafalan materi presentasi buat tes skripsi lo besok?" tanya Ara yang terlihat sedikit gugup.

Vina menatap gadis itu datar dan melirik ke arah kedua tangan Ara yang bersembunyi di balik punggung. Aneh, tapi entahlah, Vina tidak peduli tentang apapun itu.

Mereka berempat menghembuskan nafas lega ketika Vina berlalu begitu saja tanpa peduli sedikitpun tentang surat itu. Karena kalau sampai gadis itu tau, luka itu, ya luka itu mungkin akan semakin lebar, mungkin.

Gadis itu terdiam di ayunan samping kolam renang sambil berkutat dengan materi skripsinya. 2 tahun lulus? ya, gadis itu bisa menyelesaikan kuliahnya hanya dalam waktu 2 tahun. Dengan keadaan yang tidak baik-baik saja ia justru bisa memanfaatkan waktu sesingkat itu untuk menyelesaikan semuanya.

"Jangan kasih surat ini sebelum kak Vina selesai tes dan dapetin surat keterangan wisuda."

"Lo aja deh yang simpen." ucap Ara menyerahkan selembar surat itu ke arah Tristan.

"Enak aja, gue bukan bank atau brankas."

"Ohhh, nih anak aja nih yang nyimpen, dia nggak bakal tau kalau yang nyimpen lo." ucap Ara menunjuk Devan sambil tersenyum lebar.

"Yeee, gue lagi yang kena, ya udah sini sini."

Vina menoleh sekilas mendengar keributan dari mereka sebelum kembali berkutat dengan materi skripsinya untuk tes besok. Gadis itu terdiam, mulutnya terkatup rapat dengan mata yang saat ini menatap kosong ke arah tulisan rapi diatas tumpukan kertas tebal.

Kosong, sama seperti pandangannya, hatinya juga kosong. Bukan tidak berpenghuni, hatinya masih bertuan tapi sudah tak berwujud. Remuk? lebih dari itu. Hatinya mati rasa, yang dirasakan hanya sakit, luka, dan patah. Lucu ya, hati yang dulu membuatnya menghangat untuk berubah berbalik arah membuatnya beku dan tak tersentuh, sangat dingin.
Ataukah penghuninya lupa menaikkan suhu? ataukah keadaan rumah tersebut sudah lama ditinggalkan hingga menjadi lembab? Ah sudahlah, pemilik rumah juga sedang membangun rumah baru yang lebih baik. Jadi, biarkan rumah itu runtuh dengan sendirinya, meski pada keterangan tersirat, tempat itu masih berpenghuni, hanya saja hilang.

ALDANEL (2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang