(13) Beda

44.4K 3.1K 89
                                    

JEDA, entah istirahat atau penundaan untuk berpisah.

-El-

Besok adalah hari terakhir Vina ada di negara yang sama dengan Varo. Lebih tepatnya, mereka harus berpisah tepat jam 4 dini hari di bandara Internasional Hamburg. Sedih? tentu, menolak? mana bisa, ini sudah garis hidup dari yang maha kuasa. Mungkin memang mereka harus lebih sabar berteman dengan rindu.

Benar kata orang, rindu itu berat. Varo sudah merasakannya sendiri. Terlalu berat untuk dia melepaskan Vina dan membiarkan gadis itu meninggalkannya sendirian di negara ini. Negara yang bahkan tidak pernah mengubah sedikitpun rasa cintanya kepada anak dari tuan Seeva tersebut.

"Varo?"

Cowok itu menoleh ketika kak Stefi berdiri tepat dibelakangnya dengan membawa sebuah nampan kayu untuk menyerahkan susu coklat hangat kepada Varo.

"Kamu kenapa?"

"Nanti pagi Varo bakal kehilangan lagi sesuatu yang bikin aku punya semangat buat keluar rumah."

Kak Stefi tersenyum sekilas dan menepuk pundak Varo dengan penuh kasih sayang.

"Varo, kalian itu satu, tapi mungkin saat ini kalian lagi ditakdirin buat memilih jalannya masing-masing untuk mencapai tujuan yang sama. Nggak akan lama kok, percaya sama kakak."

Varo hanya terdiam dan menyerahkan gelas kosong itu kepada kak Stefi. Entah kenapa kata-kata kak Stefi tidak berpengaruh sama sekali terhadap suasana hati Varo saat ini.

"Sekarang temuin temen kamu dulu ya, dia lagi butuh sandaran kamu."

Cowok itu mengerutkan alisnya bingung. Teman? siapa yang dimaksud kak Stefi? Nesa?

"Nesa ada diluar lagi nangis."

"Kenapa?"

Wanita itu mengendikkan bahunya tanda bahwa ia juga tidak tau. Karena gemas dengan respon Varo yang masih saja terdiam, kak Stefi menggandeng tangan cowok itu menuju ruang tamu untuk menemui Nesa.

"Kakak tinggal sebentar ya."

Varo tidak menjawab, cowok itu menatap lurus ke kedua bola mata Nesa yang sudah berkaca-kaca. Kenapa gadis ini? barusan ngupas bawang?

"Var."

"Ayah sama bunda berantem lagi."

Varo masih membisu, ia paling benci mencium bau-bau tidak enak tentang keluarga. Pasalnya, keluarga dia sendiri juga tidak sebaik yang terlihat. Ia juga benci bahwa urusan orang tua harus membawa pengaruh buruk terhadap anaknya.

"Sejak kapan?"

"Sorry gue nggak cerita sama lo, gue belum siap. Tapi sore ini, mereka bener-bener udah beda. Mereka berantem lagi di depan gue, dan parahnya ayah nampar bunda. Itu yang bikin gue lari kesini, gue nggak kuat. Gue benci lihat mereka berantem terus."

Varo memejamkan mata berusaha menetralkan emosi. Ia sangat benci dengan seseorang yang menyakiti perempuan, apalagi menyangkut fisik.
"Kenapa lo lari? Lo seharusnya bantuin nyokap lo!!!"

"Maafin gue Var, gue,  gue cuma nggak mau keadaan semakin buruk kalau gue ikut campur."

"Tapi dengan lo kabur, lo nggak bakal ngerti nyokap lo sekarang gimana."

"Gue tau, tapi gue nggak bisa, yang bisa gue lakuin cuma lari waktu itu."

Varo mengusap pelan wajahnya dan kembali menatap Nesa yang saat ini masih sesenggukan. Ia melirik ke saku celana Nesa ketika ponsel gadis itu berbunyi.

ALDANEL (2)Where stories live. Discover now