Memangnya kamu lupa, bahwa kamu pernah menggenggam kelima jariku dengan begitu kalem? Tidak erat karena tidak mau membuatku sakit, tapi tidak juga mudah lepas karena kamu memang kelihatan tidak mau melepasku jauh.
Memangnya kamu lupa, bahwa kamu pernah memandang ke dalam mataku dengan begitu lekat? Tidak berkejap seolah-olah tidak ingin aku hilang ketika ditinggal berkedip, tapi tidak juga diam kaku seolah-olah tanpa ada rasa.
Memangnya kamu lupa, bahwa manis-manisnya sikapmu adalah satu alasan kenapa senyumku bisa melebar selebar-lebarnya? Kamu tidak pernah berhenti bersikap manis, kecuali... hari itu, di mana kita akhirnya membulatkan keputusan, kemudian segalanya lenyap.
Kamu, aku, kita memutuskan untuk berhenti. Tidak akan ada lagi genggam tangan hangatmu,
tidak akan lagi matamu menyorot lekat kepadaku,
tidak akan ada lagi sikap manismu.
Namun yang jauh lebih menyesakkan daripada itu semua adalah: Tidak ada lagi kamu.
Kamu hilang.
Semesta memisahkan kamu dan aku.
Semesta bercanda tanpa mengundang tawa.
Semesta... ikut bersikap jahat.
Namun satu hal yang pasti: Aku ingin jadi salah satu orang paling bersyukur karena pernah menerimamu hadir singgah, meski tidak sungguh.
YOU ARE READING
Sekantung Prosa Berjudul Patah Hati
PoetrySudah bukan sebuah rahasia bahwa tiap-tiap hati yang jatuh, pasti akan patah. Risikonya memang begitu, dan kabar buruknya adalah: Ini terjadi padaku. Maka akan kutuliskan sekantung prosa berjudul patah hati. © September 2017 by Kansa Airlangga