Chapter One

58 3 3
                                    

Northern Hemisphere, 1923
Jenny POV

Aku tidak akan seperti kedua orang tuamu yang selalu mengurungmu di ruangan ini. Percayalah aku akan membebaskanmu.

Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang dalam kepalaku. Sekelibat kenangan tentang seseorang yang aku belum pernah lihat sebelumnya kembali melintas dalam benakku.

Siapa dia dan dimana dia? Hanya dua pertanyaan itu yang selalu kucari-cari jawabannya. Meski aku sudah membenturkan kepalaku pada dinding dan lantai marmer ini ratusan kali, aku tak kunjung mengingat sepenggal memori tentang dirinya.

‘tok-tok’. Seseorang mengetuk pintu kamarku.

“Selamat pagi, Yang Mulia? Sudah waktunya Yang Mulia untuk sarapan.” Kata pelayanku dari arah pintu.

“Baiklah, aku akan segera kesana.”

❄️❄️❄️

Kulihat dua butir pil berwarna putih yang berada disamping supku hari ini. Entah terbuat dari apa pil pahit itu, aku tidak tahu. Yang aku tahu cuma aku mengidap sebuah penyakit yang tak bisa disembuhkan dan aku perlu minum pil itu agar aku tidak merasa kesakitan. Bahkan aku tidak tahu penyakit apa yang sedang menggerogoti tubuhku saat ini.

Setiap kali aku bertanya pada Tabib yang kupercaya, beliau hanya berkata jika sebenarnya ia juga tidak tahu apa penyakitku. Ia hanya berpesan jika aku jangan pernah lupa untuk meminum pil pemberiannya. Jika aku lupa, maka aku akan segera meninggal.

“Yang Mulia sudah waktunya anda untuk meminum obat.” Kata Sebastian –orang kepercayaanku- mengingatkanku.

Aku mendesah berat menimbulkan kepulan asap berwarna putih yang keluar dari mulutku. Kuedarkan pandanganku ke arah lain karena malas mendengarkan peringatannya. Percayalah Sebastian itu lebih cerewet dari pada burung yang berkicau dipagi hari.

Berbicara tentang burung, baru kusadari kalau selama ini aku tak pernah mendengar atau melihat burung disekitar istanaku. Kalau pun ada, yang kulihat hanyalah burung hantu yang sering hinggap di pohon dekat kamarku tiap malam.

“Sebastian, pernahkah kamu mendengar kicauan burung?” tanyaku tanpa sadar.

“Ya?”

“Hah... tidak lupakan. Apa kegiatanku hari ini?” Aku mencoba bangkit dari kursiku setelah selesai menelan dua pil pahit itu hari ini.

“Hari ini, anda harus menerima hasil panen dari para petani. Setelah itu bertemu dengan para panglima...” Aku berhenti saat mendengar ucapan Sebastian tentang acara penerimaan hasil panen dari para petani. Kupikir negeri yang hampir selalu terselimuti salju tebal dan bersuhu minus seperti ini tak akan pernah menghasilkan apapun kecuali bongkahan es. Bahkan seingatku, sebagian besar dari rakyatku bekerja sebagai pemasok es untuk wilayah bagian timur, barat dan selatan dan seperlima dari mereka adalah peternak. Kenapa sekarang ada petani?

“Tunggu sebentar? Sejak kapan...”

“Sejak 3 tahun terakhir. Kelihatannya tahun ini suhu masih tetap terjaga sehingga panen petani kali ini berhasil yang mulia.”

Aku merasa ada yang aneh dari penjelasan Sebastian. Aku menatapnya, mencoba melihat apakah dia berbohong atau tidak. Tapi Sebastian terlihat tenang saja, kurasa dia tidak berbohong. Ataukah mungkin saja aku yang kurang perhatian dengan rakyatku sehingga aku tidak tahu jika mereka mulai menjadi petani sekarang.

[FANFIC] THE LOST MEMORIES - Book OneWhere stories live. Discover now