Albert benar-benar terdiam.

Tunggu dulu. Apa dia baru saja ditampar oleh seorang wanita? Di depan banyak orang pula?

Albert menatap wanita itu dengan wajah kesal, namun dia tetap diam. Tak ingin berdebat dengan wanita itu karena dia juga sadar kalau ini adalah salahnya. Albert mendengus dan memeriksa kembali laptopnya. Dia memang tidak salah, posisi Lou memang seharusnya ada di sini.

Albert menatap tajam ke sekeliling sebelum akhirnya dia menyadari sesuatu dan memeriksa bagasi tepat di atas kursi wanita itu. Benar saja, dia menemukan sebuah ponsel pintar di dalam sana. Itu adalah milik Lou.

Hal yang membuat Albert merasa sangat marah adalah di dalam bagasi itu hanya ada ponsel pintar saja. Wallpaper nya bahkan diganti dengan emotikon rofl.

 Wallpaper nya bahkan diganti dengan emotikon rofl

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.

Albert merasakan hatinya meradang. Dia dipenuhi emosi dan siap meledak. Sudah bukan rahasia lagi di dalam keluarga bahwa Lou selalu mengganggu dan mempermainkannya. Dia bahkan hampir ingin menangis darah saat ini.

"Anak itu!" geramnya sambil menggertakkan gigi. Albert tak kehabisan akal dan mencoba untuk memeriksa kamera pengawas. Wajahnya sangat serius saat dia menatap layar laptop yang memang selalu dibawanya kemana-mana.

Sementara dia sibuk dengan pemikirannya, tak jauh dari tempatnya, lebih tepatnya beberapa kursi di depannya. Seorang wanita hampir mati karena menahan tawa.

Tak mendapatkan petunjuk lainnya, Albert akhirnya memutuskan untuk turun dari pesawat dan menemui Sean. Seorang anak buah Sean lalu mengantarnya untuk menemui Sean yang sedang menunggu di mobil.

Albert masuk ke mobil dengan wajah gelap. "Aku ditipu," ujarnya dengan suara rendah. Dia lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi, sampai dia tua, dia akan tetap mengingat rasa malunya hari ini. Dikerjai oleh adik sendiri.

Albert yang masih sedih karena harga dirinya hancur sedikit bingung saat tak mendengar tanggapan apapun dari Sean dan Anthony. Dia lalu berbalik dan menatap kedua pria yang duduk di kursi belakang. Melihat wajah tenang mereka membuat Albert sedikit mengernyit curiga. "Kalian sudah menduga ini?" Albert menatap keduanya dengan tatapan terluka, seolah dia adalah korban dari kebiadaban kedua orang itu.

"Bukankah dilihat saja sudah tahu. Apa menurutmu Lou sebodoh itu?" Anthony menjawab dengan wajah tak peduli.

"Aku tidak tahu." Albert benar-benar hampir menangis darah.

"Oh. Aku lupa, bagi orang dengan taraf kecerdasan seperti kau memang mustahil untuk menyadari ini." Anthony menatap adik ketiganya itu dengan wajah setenang lautan.

Albert mendengus kesal. "Lalu kenapa tak memberitahuku?" tanyanya sedikit propokatif.

"Mungkin Lou mencoba untuk menurunkan kecerdasannya ke tarafmu dan benar-benar mengikuti rencana konyol itu." Kini giliran Sean menimpali dengan sikap tak peduli.

Really? We got married? [REVISI]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu