Chapter 4

180K 12.9K 94
                                    

Albert memalingkan wajahnya, menolak melihat.

DOR

--oOo--

Albert menghela napas berat, mengasihani Anne. Namun saat dia melihat ke arah Anne lagi, dia hanya bisa menghirup napas dingin. Bukannya Anne yang mati, justru tangan Malik lah yang terluka.

Sebuah pisau kecil menancap tepat di tengah tangannya. Sepertinya pisau kecil itu menancap di sana tepat sebelum Malik menarik pelatuk pistol karena tembakannya meleset dan malah mengenai salah satu pria yang menahan Anne.

Anne menatap pemandangan berdarah di depan matanya. Dia nyaris pingsan karena ketakutan. Bila tembakan Malik tak meleset, maka tak bisa diragukan lagi, kepalanyalah yang akan diledakkan oleh peluru itu.

Anne tak kuasa lagi menahan berat tubuhnya dan dia langsung terduduk ketakutan. Sementara itu semua orang mulai menoleh ke arah datangnya pisau. Di sana dua orang gadis berdiri dengan wajah penuh horor.

"Kalian keterlaluan!" May yang berteriak pertama kali. Wajahnya sudah penuh dengan air mata. Dia sama sekali tak bisa membayangkan bagaimana bila peluru itu benar-benar bersarang di kepala Anne.

Berbeda dengan May, Lou hanya memasang wajah kaku. Dia benar-benar tak bisa menebak apa yang ada dipikiran orang-orang ini. Mereka mencoba membunuh orang!

Lou melangkah ke arah Anne dan kemudian memeluknya. "Apa terluka?" Lou bertanya dengan suara parah.

Anne tak kuasa menahan isak tangisnya dan mulai mengeluh pada Lou. Mendengar itu meruntuhkan pertahanan terakhir Lou. Dia pada akhirnya juga ikut menangis.

Anne masih tak menjawab, tapi semua orang tahu dengan pasti bahwa dia ketakutan. Lou terus mengulang kata maaf saat dia memeluk Anne. Dia benar-benar merasa sangat menyesal, demi keegoisannya, dia melibatkan sahabatnya dalam bahaya. Bukankah dia tak pantas disebut sahabat?

Lou melirik May dan memberinya kode untuk membawa Anne pergi. Setelah memastikan May membawa Anne pergi, Lou berbalik dan menatap Sean. Mata coklat cerah itu tak memiliki hal lain selain kebencian.

"Apa kau gila?! Apa kau bahkan tak menghargai nyawa seseorang?!" Lou tak bisa menahan diri lagi. Dia benar-benar kesal. Berbeda dengan tatapan berapi-api Lou, Sean hanya berwajah tenang.

Dia menatap Lou dan dalam sekejap semua niat membunuh dan aura dinginnya menghilang. Dia melangkah ke arah Lou dan mengulurkan tangannya untuk menyentuh Lou. "Ayo pulang," ujarnya.

Lou menjauh. Dia menatap Sean dan beberapa tetes air mata mengalir dari mata indahnya, membuat Sean merasa sesak di dadanya.

"Tak akan," geram Lou.

Sean melembutkan sikapnya dan kembali mendekati Lou, sayangnya satu langkah Sean mendekat, dua langkah Lou akan menghindar.

Sean menghela napas pelan. "Berhenti bersikap kekanak-kanakan," ujarnya pelan, namun tak ada amarah dalam kata-katanya. Bahkan tak ada nada ketidaksabaran dalam kata-kata itu.

"Kau yang kekanak-kanakan! Kau akan membunuh seseorang hanya karena dia tak mau menuruti keinginanmu! Kenapa kau begitu egois?!" Lou bertanya dengan nada marah. Semakin dia berbicara, semakin banyak air mata mengalir di wajahnya. Sean bahkan sudah mendengar dia mulai terisak.

"Bila aku tak melakukannya, kau tak akan keluar." Sean berujar lembut. Jawaban itu membuat Lou sangat marah. Bahkan hanya mendengar suara Sean saja dia merasa itu sangat menyebalkan.

"Omong kosong!" Lou berteriak. Dia terus mundur dan menghindari Sean.

Sean mengernyitkan dahinya, dia mulai kehilangan kesabaran. Saat Lou hendak bicara lagi, dia dengan cepat melangkah ke depan gadis itu dan mendaratkan sebuah ciuman paksa di bibirnya.

Really? We got married? [REVISI]Where stories live. Discover now