Bagian 2

2 0 0
                                    

BRUKKK!!! Kursi yang kujadikan tumpuan berdiri tadi ikut oleng dan menjatuhkan tubuhku ke lantai. Freya meletakkan hapenya. Dia sontak berdiri lalu cekakaan tanpa membangunkanku. Aku langsung melihat luar jendela. Oh my God! Vino langsung berdiri dan melihat ke dalam kelasku. Kuambil cover buku yang tadi sempat dipakai Freya untuk kipasan. Kupakai untuk menutupi mukaku sambil sesekali mengintip apakah Vino sudah pergi atau belum.

Huffttt... aku mengelus dada. Akhirnya Vino pergi juga dari situ. Aku mencoba bangkit tapi punggungku sakit. " Kamu kayak orang tua aja, jalan megangi punggung. Encok buk?." Freya cekikikan melihatku berjalan memegangi punggung dan sedikit membungkuk. " Kamu sih! Kenapa nggak bilang kalau Vino di situ?."

" Lah! Tadi aku kan bilang. Masa nggak sadar sama kedipan mataku? Udah aku pake geleng – geleng segala tadi." Freya membantuku berjalan menuju kursi. " Kan tadi aku kira kamu kelilipan."

Selalu saja kayak gini kalau ketemu Vino. Ujung – ujungnya pasti aku kena sialnya. Tapi kenapa hal ini malah terjadi padaku. Bukan pada cewek – cewek yang menjadi penggemar gilanya itu sih?!

" Kamu gimana pulangnya? Aku nggak bisa kalo nganter. Apa bareng Haris aja?." Freya mencoba menawarkan berbagai alternatif untukku. Aku sendiri malah bingung. Masa naik angkot dalam keadaan begini? Bareng Haris? Dia pasti sibuk dengan praktek biologinya di lab. Kalau dipikir, aku kuat sih pulang sendiri. Ini nggak terlalu sakit. Tapi...

Kenapa aku nggak bareng Kenan aja? Jam segini pasti kuliahnya udah selesai. Aku mengeluarkan hape dari tas ranselku. Kupencet angka – angka yang membentuk satuan nomer telepon. Kukirimi dia pesan.

Ken, kamu pulang kapan?

Sent to 087645356xxx

" Kenapa ya, kalo kamu ketemu Vino pasti kayak gini. Dari sepengetahuanku, ini yang ke tiga kalinya." Ternyata Freya begitu awas denganku. Benar apa yang barusan dia katakan. Aku selalu kena sial kalau ketemu Vino. Aku ingat, pertama kali aku ngefans dia. Berada di luar lapangan futsal, memegangi jaring – jaring pembatas lapangan sambil sesekali melirik dan tersenyum nggak jelas, sementara yang lain teriak – teriak nama Vino dari berbagai sudut lapangan.

Saking asyiknya mandangin Vino, aku tak sadar jika bola futsal itu melayang ke arahku. Bola itu mengenai dahiku hingga bayangan hitam lewat menelan cahaya terang yang sempat kulihat. Aku tak sadar apa yang terjadi setelah itu. Yang pasti aku mendapati diriku di kursi panjang dikelilingi Haris, Freya dan Vino juga.

Orang pertama yang kupandangi adalah Vino. Dia tersenyum dan menanyakan keadaanku. " Kamu nggak apa – apa?." Aku hanya menggeleng tanpa mulutku bisa berkata sesuatu. Dari arah lapangan, Brian berteriak memanggil Vino. " Woi!! No! Buruan!." Vino langsung menghampiri panggilan Brian dan meninggalkanku dengan jejak kehadirannya.

" Kamu kok bisa pingsan tadi? Sakit emang dicium bola sampe gitu?," Haris kepo. Penyakit keingintahuannya cukup besar. Kadang malah membuatku jengkel dengan rasa penasarannya yang menurutku aneh dan terlalu hiperbola. " Kamu penasaran banget sih Ris? Pengen dicium juga?," ledekku sambil mengusap dahiku yang kemerahan.

" Ya nggaklah Ta. Mana berani tuh bola dateng ke aku. Hahaha.." tawanya sambil memegangi perut. Dia mana bisa main futsal sih. Lari 50 meter aja sudah ngos – ngosan kayak lari 1000 meter. Emang badannya aja yang digedhein.

Aku jadi ingat waktu Haris bilang padaku dia sedang diet. Katanya dia mulai jenuh dikatain gendut sama teman – temannya. Semenjak itu dia memutuskan untuk diet. Dia menahan diri untuk tak memakan makanan yang dia favoritkan. Tapi masalahnya hampir semua jenis makanan menjadi favoritnya. Akhirnya dia hanya makan roti dan selai layaknya bule rambut pirang berbahasa planet luar. Sayang dan sayang banget kebiasaannya itu hanya bertahan selama seminggu. Dia tak kuat menahan godaan makanan lezat yang melambai – lambaikan aromanya untuk masuk dalam lubang hidungnya.

Unconditional Love StoryDonde viven las historias. Descúbrelo ahora