Keputusan (Part II)

343 68 17
                                    

Napas Leonore tercekat sesaat, tetapi dia pun mendekap tubuh rapuh yang sudah lama dirindukannya itu. Meski Putri Ester memakai gaun dan riasan yang lebih cantik, dengan harum tubuh yang lebih wangi, Leonore tetap dapat merasakan sang putri yang biasanya.

Sang putri yang selalu ingin bersama dirinya.

Putri Ester menarik napas dalam-dalam, lalu menoleh. Tatapannya tajam dan penuh kepastian. Kali pertama malam itu.

"Aku tidak akan menikah dengan siapa pun, kecuali Leonore."

Para bangsawan mulai riuh. Raja Herberth meneriaki Putri Ester. "Kita tidak pernah membicarakan ini, Ester!"

"Ayahanda yang tidak pernah mendengarkan ataupun melihatku!"

Raja Herberth menggeram. "Ini bukan saatnya bertingkah seperti bocah, Ester! Ingat posisimu! Kau adalah putri tunggal seluruh kerajaan Exolia!"

Putri Ester mengeritkan gigi, lalu melepaskan diri dari dekapan Leonore. "Kalau aku harus memilih jalan yang tidak sesuai dengan hatiku, lebih baik aku tidak menjadi putri ataupun ratu!" Dia menarik paksa seluruh perhiasan di rambutnya.

Leonore menggenggam tangan Putri Ester. "Jangan gegabah, Ester!" bisiknya dengan nada tegas. "Kita harus bicarakan ini baik-baik."

"Sudah kucoba, Leon, dan aku juga sudah memikirkan hal ini. Merekalah yang tak pernah memberiku sedikit pun kesempatan. Atau aku yang sudah salah paham telah mengiramu menyukaiku, Leon?"

Leonore tak bisa menjawab.

"Leon?!"

Leonore baru saja membuka mulut, saat pintu ruangan berderit terbuka. Pandangan semuanya teralih. Putri Hilderose melangkah pelan ke dalam.

"Hentikan ... pernikahan ini," ucap Putri Hilderose terengah-engah.

"Lihat! Setidaknya ada yang setuju denganku!" Putri Ester menaikkan dagu. Tak disangkanya, Putri Hilderose malah sependapat.

Tuan Meyr maju dari kerumunan. "Hentikan omong kosongmu, Hilde! Kita sudah memutuskan hal ini bersama-sama."

"Ini ibu kota, Ayah. Masih ada Leon, Nona Orphea, dan kesatria-kesatria lainnya. Masih ada kesempatan untuk melawan Alvaron!" Putri Hilderose menunjuk pangeran berkacamata itu.

Pangeran Alvaron bangkit setelah berlutut cukup lama. Dia tadinya membatu. Bukan karena terkejut, melainkan malas menanggapi hasil yang kurang lebih sudah bisa diperkirakannya. Pangeran Alvaron masih tersenyum ketika bertanya, "Apa kau tahu seberapa lelahnya bersandiwara serius, sementara pemain lain tidak?"

Para bangsawan terkesiap dan mulai menjauh tak beraturan. Raja Herberth sempat kaget, tapi segera memulihkan fokus. "Ester! Dengar kata-kataku sekarang! Kita bisa mencegah banyaknya pertumpahan darah, cukup dengan persetujuanmu saja."

Putri Ester tersentak. Dia jadi ingat pemakaman beberapa hari yang lalu akibat penyerangan para Droxa. Benarkah kata-katanya bisa menimbulkan efek seserius itu?

"Tapi itu pengancaman, Yang Mulia!" Putri Hilderose membantu mengecam. "Tidak ada hubungan yang baik akan terjadi atas dasar hal seperti itu."

"Kita tak punya pilihan lain!" Tuan Meyr mewakili Raja Herberth membantah. "Kitalah yang paling tahu, Hilde! Sekarang, jangan berbuat macam-macam atau segalanya yang kita bangun selama ini akan rusak."

Raja Herberth menatap Tuan Meyr sesaat, penuh kecewa. Di sisi lain, dia sudah bisa memperkirakan alasan teman baiknya itu. Bahkan bisa dibilang, saat ini mereka berada di pihak yang sama. Mereka saling membujuk putri masing-masing yang masih muda, belum tahu apa-apa mengenai dunia itu.

Derap logam mengisi sela-sela keriuhan. Putri Hilderose dapat mendengarnya mendekat dari arah koridor di belakang pintu yang masih belum tertutup. Begitu berbalik, dilihatnya Nona Orphea berlari menghampiri. Namun, wanita itu terjatuh pada lututnya. Darah menetes dari balik tangan yang memegangi perut.

Nona Orphea merintih. Lukanya ternyata belum pulih benar. Dalam kepanikan, dia salah mengukur waktu penyembuhan. Akan tetapi, tiada waktu baginya untuk merengek. Nona Orphea segera bangkit dan bergegas masuk. Semua orang memperhatikan.

Nona Orphea merapal Lumegladio yang sempat hilang. Dia lalu mengacungkan pedang cahaya itu ke atas.

"Wahai para kesatriaku, bersiaplah!"

Meski dalam kebingungan, para kesatria bersiap mengeluarkan pedang masing-masing.

"Ada apa ini?!" Raja Herberth semakin kalap. "Aku tak pernah menyetujui ini!"

"Maaf, Yang Mulia, tapi kurasa Anda sendiri pun sudah menyadarinya." Nona Orphea mengarahkan pedang pada Tuan Meyr. "Tuan Lucian Meyr telah mengkhianati kerajaan."

"Herberth!" panggil Tuan Meyr. "Kau harus percaya kepadaku! Aku melakukan ini semua demi Exolia."

"Hentikan kepura-puraanmu, Tuan Meyr!" Nona Orphea menuduh. "Aku tahu, kau selalu ingin keluar dari kerajaan ini!"

Tuan Meyr memanggil Raja Herberth sekali lagi. Kebimbangan kian memenuhi sang raja, terombang-ambing antara sisi kemanusiaan dan masa depan kerajaan.

"Yang Mulia!" Nona Orphea memanggil tegas. "Anda masih punya aku, Leonore, dan para kesatria lain di ruangan ini. Kita tidak boleh takut hanya kepada satu orang dari kerajaan luar!" Kini, pedang Nona Orphea terarah ke Pangeran Alvaron.

Sang pangeran mendesah. "Kalian semua terlalu berbelit-belit, padahal ini persoalan mudah."

Tanpa buang waktu, Nona Orphea merapal, "Lumerestrea."

Garis-garis cahaya mulai terbentuk di bawah kaki Pangeran Alvaron. Namun, pemuda itu dengan tenangnya merapal balik, "Oblitera." Dalam sekejap, garis-garis itu pecah dan lenyap.

Nona Orphea terpegun.

Di saat bersamaan, Ally melayang di bawah kaki Nona Orphea. Dia menatap Satsu yang kini berada tepat di bawah kaki Tuan Meyr. Luka-luka pemuda itu masih terbuka, sementara lubang di perut Ally sudah hampir menutup sepenuhnya.

Gadis berambut merah itu menggeram kesal kala mengingat kecerobohannya sendiri.

Setelah mengira Satsu telah lumpuh, dia mendekat tanpa curiga. Pemuda itu malah menusuknya tanpa ragu dan luka yang sama bersarang di tubuh Orphea. Itulah sebabnya Nona Orphea sempat tertatih-tatih menuju ruangan pesta.

Namun, bagaimana mungkin tak ada yang ikut merasakan sakit dari lubang-lubang di tubuh Satsu? Bahkan seharusnya Pemegang Kontrak Satsu sudah mati dengan luka seperti itu. Tuan Meyr, Putri Hilderose, dan Pangeran Alvaron yang mereka curigai juga tampak sehat-sehat saja.

"Lucian," panggil Pangeran Alvaron di dunia atas. Tatapannya berubah dingin. "Pestanya berakhir. Cepat lakukan rencana kedua."

Lucian Meyr mengembus napas berat. "Maaf, Herberth. Aku sudah mencoba percaya kepadamu."

Sambil memandang temannya penuh kecewa, Tuan Meyr menarik bagian atas tongkat yang ternyata merupakan gagang sebuah pisau. Dia lalu menoreh telapak tangannya sendiri.

Yang merembes keluar dari sana bukanlah darah.

******

Author's Note: Makasih ya udah baca sampai sini. Doakan biar Trace terus lancar, dan jangan lupa vote serta komennya untuk mendukung author atau kalau kalian suka ceritanya. Sampai jumpa minggu depan :)

Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang