Ketakutan (Part I)

802 103 35
                                    

Author's Note: Terima kasih atas dukungan dan krisarnya selama ini :) Kalau kadang belum bisa jawab satu2, atau ada yang jawabannya menyinggung, mohon maafkan author ya. Author juga pasti akan mikir2 lagi untuk revisi nanti "kalau" seluruh cerita sudah selesai, jadi kalian bisa komen aja dulu biar krisarnya ketampung XD Eniwei, silakan menikmati chapter terbarunya~

Pict diambil dari google.

Prev Chap: Dalam pertarungan melawan Droxa Level 3, Satsu mendapat bantuan dari seorang gadis asing. Tanpa peduli, Satsu meninggalkan si gadis. Sementara itu, perbincangan mengenai perjodohan mencapai puncaknya. Leonore disuruh menemani keluarga Meyr di kota. Di saat Leonore masih dalam kegundahan, Putri Hilderose menyudutkannya hingga Leonore marah.

******

Sebuah apel melayang, tepat jatuh pada kepala seorang anak laki-laki. Dia mengaduh memegangi dahi. Apel itu terpental ke tanah dan menggelinding.

"Aku tak punya makanan untuk anak pengkhianat!" Bentakan serak itu disusul suara geram. Si pria pemilik toko buah meludah. "Merusak pemandangan toko saja. Syuh, syuh!"

Si anak lelaki memungut apel. lalu mengusap-usapnya, membersihkannya dari debu. Dia mendesah. Namun ketika berbalik, seorang anak perempuan berjalan melewatinya. Rambut emas bergelombang itu membuat si anak laki-laki terperangah.

"Aku mau beli semua apelnya!" Anak perempuan itu mendengus.

Si pria pemilik toko terbata-bata. "Tuan Putri Ester?!"

"Cepat!" Putri Ester mengibaskan tangan. Sementara si pemilik toko buru-buru memasukkan apel ke bungkusan, Putri Ester berbalik. Dia tersenyum ke si anak laki-laki. "Kau tidak apa-apa, Leon?"

******

Leonore membuka mata perlahan. Langit-langit ranjang menyambut. Selimut—bercorak rumit dengan dominasi warna merah—yang menyelimuti tubuhnya telah acak-acakan, bahkan tergeser hingga hampir jatuh. Dia membaliknya sebelum bangun. Kepalanya pusing. Itu efek bir kemarin malam.

Setelah mendesis dan menghela napas, Leonore berdiri. Cukup beberapa langkah baginya untuk sampai ke jendela. Leonore membuka tirai. Matahari menyorot masuk, lembut dan tak terlalu silau, menyinari dadanya yang masih belum terbungkus pakaian. Beberapa awan terlihat pagi itu.

Di jalan bawah, beberapa orang lalu-lalang. Sebagian besar para wanita. Melewati gang-gang kecil perumahan kota Loka, pastilah mereka menuju pasar.

Leonore menyipitkan mata. Omong-omong soal pasar, dia jadi ingat mimpinya barusan. Sudah lama sekali ingatannya tentang kejadian masa kecil itu tertutup. Dia yakin, itu karena kata-kata Putri Hilderose kemarin.

"Kalau kau tadi menegaskan kepada Tuan Putri Ester, bahwa hubungan kalian hanya sekadar tugas antara putri dan kesatria, kau memang akan melukainya sekarang, tapi setidaknya itu bisa lebih meringankan beban Tuan Putri. Bukankah kau sudah tahu? Perjodohan ini tak akan bisa dicegah."

Leonore hanya mengerutkan dahi. Logikanya bilang itu benar, tapi emosinya berkata lain.

"Sebegitu takutnyakah kau dibenci?"

Leonore tertegun. Jantungnya berdegup keras satu kali.

"Oleh Tuan Putri ... atau oleh orang lain juga?"

Leonore mengeritkan gigi. Berlawanan dengan tangannya yang mulai gemetar, Putri Hilderose tampak tenang-tenang saja.

"Apa ini ... karena kejadian ayahmu dulu?"

Kata-kata itu menyentak Leonore seperti palu ke kepalanya. Dia menggenggam erat lengan Putri Hilderose hingga sang putri meringis, lalu mendorongnya ke tembok, menyudutkannya. Pemuda itu menggeram. "Apa ... maumu?!"

Putri Hilderose masih mengaduh ketika dia perlahan membuka mata. Tatapannya tertuju ke Leonore. Bukan kemarahan yang dia dapati di sana, tapi ketakutan. Spontan, Putri Hilderose terkekeh.

Leonore tersentak. Seketika, genggamannya melemah. Itu kali pertama Leonore melihat sang putri tertawa. Namun di dalam otaknya, tawa lain menggema, bercampur dengan tawa sang putri. Bisik-bisik kesenangan dari para penduduk ketika ayahnya meninggal menggema dalam kepalanya. Lirikan-lirikan sinis pria dan wanita, tua dan muda, bahkan anak-anak sekalipun kembali tebersit.

Leonore menutup mulut. Rasanya perutnya terkocok-kocok, dadanya juga tertekan, kepalanya sakit. Tidak seharusnya dia ingat hal itu.

"Benar-benar payah," tiba-tiba Putri Hilderose bergumam.

Leonore mendapati sang putri melirik ke samping. Entah siapa yang dimaksudnya 'payah', tapi setidaknya, Leonore bisa berhenti mengingat hal tadi. Dia menarik napas dalam-dalam. Pikirannya menyuruh untuk fokus, fokus, fokus, dan lupakan semuanya. Setelah mengembuskan napas, Leonore menunduk memegangi tengkuk.

"Maaf," kata Leonore, "Tuan ... Putri."

Keraguan terdengar jelas. Putri Hilderose mendesah. "Maafkan aku juga, Leon. Tidak seharusnya aku berbicara seperti tadi." Namun setelahnya dia tersenyum, benar-benar terlihat lembut kali ini. "Tapi aku tidak keberatan kalau kau menunjukkan kelemahanmu seperti itu." Dia mulai berjalan lagi.

Dalam kebingungan, Leonore menelengkan kepala sebelum mengikuti Putri Hilderose. Perasaan tak enak masih menyelimuti dadanya, tapi detak jantung Leonore mulai tenang. Begitu pula dengan ekspresinya. Dia mulai berjalan tegap dengan mata menatap tegas ke depan.

Namun, tangan Leonore terus bergetar sepanjang mengantar Putri Hilderose. Dia setidaknya bersyukur, karena sang putri tidak perlu melihat hal itu.

Ketukan pintu kamar membuyarkan lamunan Leonore. Dia menoleh. Suara Putri Hilderose terdengar di baliknya. "Ya, tunggu sebentar," balas Leonore.

Pemuda itu segera mengambil tunik merah dari lemari, juga mengganti celananya. Setelah selesai bersiap-siap, dia membuka pintu.

Putri Hilderose berdiri dekat dinding dalam balutan gaun biru tua sederhana. Dia menutupi mulut dan memalingkan wajah, sebelum terkejut menyadari kehadiran Leonore. "Oh, maaf. Kau sudah selesai."

Leonore masih sempat melihat lengkungan bibir Putri Hilderose. Apa Tuan Putri tadi tertawa? pikir Leonore sambil mengernyitkan alis.

Suara langkah kaki yang cukup keras membuat Leonore menoleh ke kiri. Di ujung lorong berlantai kayu itu, seorang wanita berambut pirang panjang mengangkat rok gaun hitamnya dengan canggung. Entah mengapa, Leonore merasa ada yang aneh. Dia berniat mengikuti ketika Putri Hilderose menggenggam tangan Leonore.

"Aku mau berjalan-jalan di kota. Sudah lama tidak ke sini. Tolong temani aku."

Leonore masih tergagap. Dia melirik pintu kamar sebelah. "Bagaimana dengan Tuan Meyr?"

"Ayahku lelah. Dia akan istirahat hari ini."

"Tapi aku harus—"

"Leon," potong Putri Hilderose, "sebegitu inginnyakah kau bersama pria paruh baya seperti ayahku? Aku baru tahu."

Senyum Leonore mengembang. Dia menjilat bibir sebelum tertawa. "Baiklah, Tuan Putri." Dia membungkuk. "Leonore Cress akan menemani Anda hari ini."

"Bagus." Putri Hilderose berjalan duluan.

Leonore lagi-lagi menelengkan kepala. Kecanggungan di antara mereka mencair sedikit hari itu, tapi Leonore masih tidak bisa berjalan di samping sang putri.

Exolia (Trace of A Shadow #1) - [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang