Bagian 4

537 42 0
                                    

Dua puluh hari lamanya Ikmal dirawat di rumah sakit. Ikmal ingin cepat pulang dan menjalani rawat jalan. Kondisi Ikmal sudah stabil meski dia masih harus memakai kursi roda karena kaki kanannya yang patah akibat kecelakaan itu.

Selama waktu itu Gia terus mendampingi Ikmal. Dia sudah meminta ibu untuk menghentikan dulu persiapan pernikahannya sampai kondisi Ikmal membaik.

Seperti hari-hari kemarin...sore ini Gia menemani Ikmal bersantai di teras rumah. Gia menemani Ikmal sambil membaca tabloid.

"Gi, aku bisa bicara sebentar?"

"Iya Mas."Gia meletakkan tabloidnya.

Gia duduk lebih dekat dengan Ikmal.

"Mas mau bicara apa?" Tanya Gia.

"Aku mau membatalkan pernikahan,"ucap Ikmal pelan.

"Maksud mas ditunda? Iya mas, aku juga ingin mas sembuh dulu lalu kita susun ulang rencana pernikahan kita. Tidak apa-apa mas...aku bersedia menunggu,"ucap Gia.

"Bukan ditunda Gi, tapi aku ingin hubungan kita berakhir sampai di sini." Ikmal menegaskan lagi ucapan sebelumnya.

Deg. Gia terdiam sejenak tapi dia berusaha untuk tenang.

"Tapi kenapa mas?"

"Aku tidak bisa membuat kamu terus menungguku. Sampai kapan? Lihat aku sekarang! Aku hampir cacat, butuh waktu yang lama untuk sembuh. Selama waktu yang tidak pasti itu...rasanya sangat egois kalau aku masih meminta kamu untuk menunggu. Kamu harus terus jalan...kamu bisa mencari lelaki yang lebih baik dari aku. Aku sudah siap kalau harus berpisah,"ucap Ikmal.

"Kenapa mas lakukan ini? Aku sudah bilang akan menunggu mas Ikmal. Kenapa mas menyerah begitu cepat?"

"Maafin aku Gi...Semalam aku sudah bicara pada mama, Akmal, ibu dan bapak. Aku katakan kalau aku akan membatalkan pernikahan kita."

"Mas...kita masih bisa menikah!" seru Gia.

"Aku yang tidak bisa menikah dengan kamu. Maaf Gi.." ucap Ikmal dengan nada pasrah.

"Apa sudah tidak ada cinta lagi di hati mas buat aku? Semua yang sudah kita bangun untuk cinta kita apakah sudah tidak berarti lagi buat mas?" tanya Gia sambil menatap mata Ikmal.

"Tidak Gia..." geleng Ikmal.

"Kalau saat ini mas butuh waktu untuk sendiri, aku bisa mengerti dan aku bisa pergi sebentar tapi jangan seperti ini caranya." Gia masih belum menyerah.

"Tidak Gia, aku tetap tidak bisa menikah dengan kamu,"tegas Ikmal kali ini.

Gia menghela napas yang terasa sesak. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Aku sangat mencintai kamu mas...dan akan selalu mencintaimu sampai kamu tidak menginginkan aku lagi. Maafin aku mas..."Gia mencium kening Ikmal sebelum dia meninggalkannya di teras.

"Gia..."Ikmal memanggilnya lirih tapi Gia sudah pergi.

***

"Gia, ada apa?"Mama kelihatan bingung ketika melihat Gia masuk rumah dengan menangis.

"Oh..."
Mama langsung tersadar. Sepertinya Ikmal sudah mengatakannya pada Gia.

"Gia, mama bisa bantu jelaskan," kata mama sambil mengikuti langkah Gia.

Gia masuk ke kamar, dia cepat memasukkan baju-bajunya ke dalam tas.

"Gia, bicaralah, mama takut kalo kamu diam seperti ini. "

Gia menutup koper dan menguncinya. Dia menatap Mama.

"Gia mau pergi, Ma, mungkin mas Ikmal butuh waktu untuk sendiri dulu agar dia bisa berpikir jernih. Selama Gia merawat mas Ikmal, Gia berharap mas Ikmal punya semangat tinggi untuk sembuh tapi apa yang Gia dapat? Mas Ikmal ingin mengakhiri hubungan kami. Bahkan semua sudah mengetahuinya. Apa salah Gia Ma? Gia sangat mencintai mas Ikmal. Gia berharap setelah sembuh, kami bisa menyusun ulang rencana pernikahan kami tapi rupanya mas Ikmal sudah tidak menginginkannya lagi, jadi untuk apa Gia masih bertahan di sini..."

"Gia, maafin mama. Mama..."

Gia menggeleng lemah.

"Bukan salah mama kalau mas Ikmal mengambil keputusan itu, mungkin mas Ikmal memang sudah tidak cinta lagi pada Gia. "

"Itu tidak benar, sayang..."

"Tidak apa-apa Ma, Gia pamit. Semakin lama di sini hanya membuat hati Gia sakit. Titip mas Ikmal ya Ma..Gia selalu cinta sama dia."

Gia mencium pipi Mama. Dia melangkah keluar kamar dengan mengangkat kopernya. Gia terus berjalan tanpa menengok lagi ke belakang. Dia bahkan tidak tahu keberadaan Ikmal di balik pintu saat dia berbicara dengan mama.

"Ini yang kamu inginkan Ikmal? Dia masih sangat mencintai kamu walaupun kondisi kamu cacat."

Mama hanya menggelengkan kepala. Ikmal mengepalkan jemari tangannya. Hatinya juga terasa sakit melihat cintanya pergi begitu saja. Mungkin Gia juga lelah menantinya.

"Akmal!"
Mama memanggil anak sulungnya.

"Cepat susul Gia, temani dia kemanapun dia pergi. Mama khawatir dengan keadaannya sekarang."

"Iya Ma."

Akmal bergegas pergi. Dia menyusul Gia yang ternyata masih berdiri di depan rumah menunggu angkot datang.

"Kamu mau kemana?"tanya Akmal sambil menahan koper Gia.

"Aku belum tahu Mas, mungkin pulang dulu."

"Aku antar ya."

"Tidak perlu mas, nanti malah merepotkan."

"Tapi aku bersedia mengantar kamu kemana pun. Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dengan perasaan seperti itu. Aku khawatir kamu..."

Brukk. Gia menjatuhkan diri di badan Akmal. Tangisnya pecah. Akmal yang kaget hanya membiarkan Gia tetap memeluknya hingga beberapa saat.

"Maaf Mas..."
Gia melepaskan pelukannya.

"A-aku..."

"Aku tambah yakin tidak akan membiarkan kamu pergi sendiri. Kamu tunggu dulu di sini. Janji ya jangan pergi kemana-mana. Aku ambil mobil sebentar." Akmal berbalik ke rumah.

"Mas Akmal bisa menjadi sandaran buat Gia. Aku yakin itu Ma,"ucap Ikmal setelah memperhatikan mereka dari balkon rumah.

Mama hanya menghela napas. Dia mendorong kursi roda Ikmal kembali ke kamarnya.

GIAWhere stories live. Discover now