4. Kedatangan

167 7 0
                                    

SEMENTARA SAKTI meninggalkan Hutan Besar, gong dari Menara Naga sebelah timur dipukul tiga kali.

Di ufuk utara dari Pulau Nyiurmelambailambai, satu titik hitam yang sebelumnya muncul dari balik lengkung langit perlahan-lahan membesar dan membentuk bayangan kapal. Semakin mendekat, semakin jelaslah bentuknya. Bendera merah pada ujung tiang utama bergambar pohon kelapa. Itulah bendera Nyiurmelambailambai.

Kapal dagang milik Nyiurmelambailambai itu tidak bisa langsung sandar. Tidak ada tempat. Dermaga penuh sesak. Setelah salah satu kapal melepas tambat, menjauh dan melempar sauh, baru kapal milik Nyiurmelambailambai itu bisa bersandar.

Segera setelah kapal dagang itu bersandar, sang nakhoda tergesa-gesa turun bahkan sebelum rampa dipasang. Para pekerja pelabuhan heran melihat tingkah sang nakhoda yang setengah berlari menuju kesyahbandaran.

Perhatian para pekerja pelabuhan lekas teralihkan begitu rampa dipasang. Dengan sigap mereka menyambut muatan yang dibongkar awak kapal dan mengangkutnya ke gudang pelabuhan. Iringan para pekerja terlihat seperti iringan semut, mengalir tidak putus-putus.

Tidak lama berselang, datanglah seorang pegawai kesyahbandaran. Sedikit terlambat. Maka kalang kabutlah dia mencatat aliran barang yang turun dari kapal.

Rempah-rempah merajai muatan kapal itu. Dan tidak butuh waktu lama seluruh muatan berpindah dari lambung kapal ke gudang pelabuhan.

Sesudah reda hiruk pikuk di kapal yang baru datang itu, seorang awak kapal muda menuruni kapal dengan membawa barang yang terlihat berat. Orang muda itu adalah Konda. Ketika menginjakkan kaki di dermaga, dia berhenti sejenak. Pandangannya menyapu seluruh kawasan pelabuhan.

"Seperti seharusnya....," gumamnya, lantas mulai melangkah.

Konda tidak mampir kemana-mana, dia langsung menuju desa. Rumah Sitok tepatnya. Kedatangannya tidak disadari Sitok yang tengah sibuk menempa.

Konda menjatuhkan barang yang dia bawa. Barang berat, benturannya dengan tanah sampai menciptakan getar yang begitu terasa di sekelilingnya. Sitok sepertinya merasakannya juga. Dia menghentikan pekerjaannya dan menoleh ke belakang.

"Pandai macam apa yang bekerja tanpa panjak?" Konda mendahului berucap.

Sitok menyeka peluh di dahi. "Panjaknya lagi latihan di tempat lain," jawabnya merujuk kepada Sakti. Lalu dilihatnya barang bawaan Konda yang tergeletak di tanah. "Ini dia yang kutunggu-tunggu."

Sitok membuka kain berlapis empat yang membungkus barang bawaan Konda. Dia mendapati beberapa bilah logam mentah. Dia ambil satu dengan kedua tangan, lantas menimang-nimangnya.

"Bagaimana?" tanya Konda.

"Mantap."

"Bukan itu."

Alis Sitok terangkat.

"Soal pamor buatanmu yang kutanyakan."

Sitok meletakkan kembali bongkahan yang dia pegang. Bersedekap. Raut wajahnya menjadi sedikit suram. "Belum lagi berkembang sejak terakhir kali kau lihat."

Sitok mengembuskan napas panjang. Sementara Konda tidak menanggapi apa-apa.

"Aku belum mengatakannya kepada Sakti. Tapi, aku rasa aku menemui jalan buntu. Pengetahuanku yang sekarang sudah sampai batasnya."

Konda masih membisu.

"Aku hanya menggabungkan berbagai macam cara yang kutahu dan membuat berbagai macam bentuk. Kemudian menguji cobanya. Satu demi satu."

"Kalau begitu selesainya pamor itu bersamaan selesainya belajarmu," Konda menanggapi.

"Untukku bagus, perkembangan mutu pamor seiring dengan berkembangnya ilmuku. Tapi tidak untuk Sakti. Perannya mengharuskan dia segera memiliki gaman berpamor. Dan tidak boleh sembarang pamor."

"Seperti yang dia bawa sekarang."

"Setidaknya." Sitok berdesah. "Lucu juga, mendapat keris sebagus itu, tapi tidak bisa leluasa digunakan. Apalagi dengan keadaan di perguruan yang seperti sekarang, dia tidak bisa mengaku kerisnya hanya tiruan."

"Keadaan di luar sana juga tidak bagus."

"Keadaan apa? Perdagangan?"

Konda mengangkat bahu. Dia memandang ke arah lain. Ada resah yang tersirat di matanya, yang tidak dia tunjukkan ke Sitok. "Aku rasa sedang terjadi sesuatu di luar jangkauan pandangan kita."

***

Syahbandar Nyiurmelambailambai, Ki Bijak Bestari, berjalan keluar dari kesyahbandaran bersama seorang nakhoda kapal milik Nyiurmelambailambai yang baru datang. Nakhoda yang ditemani Syahbandar wajahnya terlihat lesu, kentara sekali ada beban pikiran teramat berat yang dia tanggung.

Di pekarangan mereka berhenti sejenak.

"Maaf sudah merepotkan, Tuan," kata sang nakhoda, memaksakan tersenyum.

"Tak apa, Tuan Sasmita." Syahbandar balas tersenyum. "Ini sudah menjadi tugas saya selaku Syahbandar Nyiur. Malah saya berterima kasih lantaran Tuan langsung mempersembahkannya kemari. Dengan begitu kita bisa segera bertindak tanpa adanya kegaduhan. Kita tidak bisa membiarkan perdagangan Nyiur terganggu, karena dari sanalah penghidupan kita berasal."

"Betul itu, Tuan." Kemudian Tuan Sasmita pamit. "Kalau begitu, saya mohon diri, Tuan Syahbandar."

Syahbandar mengangguk. "Saya akan segera menghubungi penguasa Tuban."

"Baik, Tuan." Tuan Sasmita menyembah dada, lantas berbalik pergi.

Sementara itu, Syahbandar masih berdiri di tempatnya. Pandangannya tertuju jauh ke lautan. Tercenung. Pikirannya pun melanglang sama jauhnya. Benaknya berusaha menggambarkan kembali peristiwa yang telah terjadi di tengah lautan sana, sesuai penuturan Tuan Sasmita. Di hadapannya, peristiwa itu seperti sedang terjadi. Dia melihat puing-puing kapal yang mengapung. Dia melihat pertempuran di atas kapal. Dan dia melihat sumber malapetaka itu: kapal perompak yang datang menyerang. Namun, satu hal yang tidak bisa dibayangkan Syahbandar adalah cara kapal perompak itu bisa mencapai perairan Nyiurmelambailambai.

Syahbandar menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Semua yang telah terjadi dan akan terjadi di tengah lautan sana, semua-muanya menjadi beban pikirannya juga.

"Han!" panggil Syahbandar, menyudahi angan-angannya.

"Saya, Ki Bijak." Panitera pelabuhan, Handoyo, datang tergopoh-gopoh.

"Aku ada perlu. Kau tangani semuanya."

"Siap, Ki."

Kemudian, Syahbandar beranjak pergi.

Naga Angin 1Where stories live. Discover now