2. Menuju Hutan Besar

326 14 0
                                    

SAKTI SENDIRIAN meninggalkan desa. Setelah menemui dirinya, Indraja mengambil jalur lain, menghindari jalan desa. Selalu begitu. Indraja tidak pernah mau lewat di jalan desa bersama-sama. Indraja senantiasa beralasan mereka bukan teman main, dan akan menimbulkan kecurigaan bila mereka tiba-tiba menjadi akrab.

Bagi Sakti, alasan itu mengada-ada. Jika dirinya masih di tingkat awal, tentu alasan Indraja bisa diterima. Namun, sekarang dia berada di tingkat lanjut dan murid tingkat lanjut setidak-tidaknya mengenal murid lainnya, walau itu hanya sekadar tahu. Terlebih lagi, mereka sama-sama berguru pada Empu Gatta untuk mendalami bahasa dan ilmu tata praja. Wajar jika mereka saling mengenal dan berteman. Dan, siapa pula yang akan curiga melihat mereka berlari bersama melintasi desa? Telah menjadi kebiasaan murid-murid Perguruan Naga, berlari mengelilingi desa untuk meningkatkan kecepatan dan ketahanan tubuh.

Sakti sampai duluan di kebun desa. Tentu saja. Dia bisa leluasa berlari di jalan desa yang sepi di siang hari. Lebih mudah dan lebih cepat daripada menerobos semak belukar. Jika Indraja mau melintas bersama, dia tidak perlu menunggu.

Kadang Sakti berpikir memang Indraja yang aneh. Meski Indraja cukup terkenal di kalangan murid tingkat lanjut, dia tidak pernah melihat Indraja membaur dengan murid lainnya. Penyendiri, mungkin.

Panjang umur, Sakti membatin. Lalu, terdengar langkah kaki yang mendekat.

“Ayo!” ajak Indraja tanpa menghentikan langkah.

Sakti mengekor di belakang.

Mereka berlari cepat meninggalkan kebun desa, mengitari Gunung Naga, Gunung Besar, Gunung Kecil dan sampailah mereka di Hutan Besar.

Indraja langsung melompat ke puncak pepohonan. Sakti pun demikian. Sekarang mereka melintas cepat dengan menapak pada cabang-cabang tertinggi dan pucuk pepohonan. Rapatnya pepohonan memudahkan langkah mereka.

Baik Indraja maupun Sakti terlihat lincah berlompatan seperti bajing. Keduanya benar-benar menguasai medan yang dilalui. Di sini terlihat bahwa Sakti sudah mampu mengimbangi kecepatan dan kelincahan gerak Indraja. Gerakannya pun sudah selayaknya prajurit Naga Angin. Secepat angin, sesunyi bayangan.

“Hoi, Indraja!” panggil Sakti. Indraja menoleh ke belakang sekilas. “Kenapa kau tidak pernah lagi menggunakan linuwih[3]-mu?”

Indraja memang punya linuwih bisa menghubungi seseorang dari jarak jauh melalui pikiran. Namun, setelah peristiwa setengah tahun silam, yang membuatnya terluka parah hingga harus dirawat selama empat bulan, Indraja sepertinya tidak pernah lagi menggunakan linuwihnya. Begitulah yang Sakti tahu, karena sesudah pulih dan ditugaskan menjadi pendampingnya dalam latihan, Indraja tidak pernah menggunakan linuwihnya, bahkan ketika dia sengaja abai terhadap jadwal latihan.

“Hemat tenaga,” jawab Indraja. Entah benar, entah asal.

“Bukannya terbalik? Jarak dari desa dengan markas cukup jauh, seharusnya tenaga yang diperlukan untuk melintasinya lebih besar daripada menggunakan linuwihmu itu.”

“Tahu apa kau?” Indraja menukas. Lalu pemuda itu turun dari ketinggian, mengayun anggun pada cabang pohon yang lebih rendah dan dengan mantap menapak di tanah. Sekejap kemudian Sakti mendarat di sampingnya.

“Atau… hilang sudah kekuatan itu akibat luka-lukamu?”

Indraja tidak menjawab, membiarkan Sakti menerka-nerka. Namun Indraja keliru. Sakti tidak ambil pusing. Dia hanya sekadar bertanya.

“Sekarang, kau yang memimpin jalan,” kata Indraja. “Kita lihat sejauh mana perkembanganmu.”

“Kau meremehkanku.”

“Setahuku,” Indraja menerawang, “kau belum pernah mencapai markas melalui usahamu sendiri.”

“Tidak ada yang memberi tahu aku soal tandanya.”

Naga Angin 1Where stories live. Discover now