3. Soma Bersaudara

287 11 2
                                    

SAKTI MASIH sempat berkelit dari sambaran berbahaya yang mengincar lehernya. Kemudian dia melompat mundur.

“Apa-apaan itu tadi?” semburnya. Dan begitu dia lihat siapa yang menyerang, dia menambahkan, “Kenapa pula kau ada di sini?”

Adalah Narasoma yang barusan menyergap Sakti, yang sekarang menyeringai menatap Sakti.

“Mereka di sini untuk membantu latihanmu,” Indraja yang menjawab.

“Mereka?” Sakti mengedarkan pandang. Dia mendapati Sutasoma tengah berdiri tenang sambil bersedekap agak jauh letaknya, di depan sebuah pondok yang menandakan markas Laskar Naga Angin. Sutasoma dan Narasoma. Soma Bersaudara. Mereka berdua memang selalu bersama.

“Aku tidak butuh bantuan dari orang sembrono.” Sakti menolak. Menolak Narasoma tepatnya. Bisa remuk badannya jika harus menghadapi pemuda liar seperti itu tiap kali latih tanding.

“Siapa yang kau bilang sembrono, ha?” Nyaris seketika, Narasoma menanggapi dengan nada tinggi. Tersindir rupanya dia.

Sakti mengabaikan Narasoma.

“Untuk sementara saja,” Indraja menyela, juga mengabaikan Narasoma.

“Oi, apa-apaan ini?” Narasoma tidak terima diabaikan.

Namun, baik Sakti maupun Indraja terus berbincang tanpa melibatkan Narasoma, seolah-olah Narasoma hanyalah lalat kecil yang terbang di sekitar mereka. Sedikit mengganggu, tetapi sudah sepatutnya diabaikan.

“Jadi nanti Narasoma akan menggantikanku, menjadi lawan tandingmu,” kata Indraja.

“Memang ada apa denganmu sampai harus diganti?”

“Untuk sekarang, aku ada urusan mendesak. Kebetulan sekali Empu Sambara juga tidak bisa melatih sampai selesai Pesta Laut.”

“Dan Sutasoma yang akan menggantikan Empu Sambara, begitu?”

Indraja mengangguk, lalu berbalik pergi.

“Hoi!” Sakti berseru, mencoba menghentikan Indraja. Namun percuma. Indraja langsung melesat cepat dan menghilang di balik lebatnya hutan. “Sialan! Seenaknya saja.”

Sakti mengalihkan perhatian pada Soma Bersaudara. Narasoma menyambutnya dengan seringai dan tangan terkepal. Nyata terlihat Narasoma tidak sabar membalas Sakti yang telah mengabaikan dirinya, dengan kekerasan pastinya. Sakti beralih ke yang tua. Sikap Sutasoma tidak banyak berubah. Sorot matanya yang teduh sungguh menenteramkan. Menjadi penawar keliaran sang adik.

“Kita lihat sejauh mana kemampuanmu.” Sutasoma buka suara.

Narasoma menidaklanjuti perkataan kakaknya dengan menghunus pamor. Tidak tanggung-tanggung, dia langsung menghunus kedua pamornya yang berupa badik. Sementara itu, Sakti serta-merta menarik kaki kanannya ke belakang, pasang kuda-kuda.

Narasoma terkenal sebagai pengguna dua pamor sekaligus dalam bertarung. Namun yang menjadi ciri khasnya adalah cara dia menggenggam pamor yang nyeleneh. Narasoma menggenggam kedua badiknya seperti menggenggam kerambit. Bahkan gagang badiknya dia buat seperti gagang kerambit dengan adanya lubang di ujung gagang.

Pada hakikatnya, senjata berpamor—badik maupun keris—adalah senjata sejenis belati, yang lebih diperuntukkan untuk menusuk daripada mengiris. Dengan cara genggam yang kebalikan dari biasanya, Narasoma bisa dibilang membalikkan sifat senjata itu. Kedua pamor Narasoma tidak lagi menjadi perpanjangan tangannya untuk menikam lawan, tetapi berubah menjadi senjata penyayat. Sakti sampai pada kesimpulan bahwa serangan Narasoma akan melibatkan kecepatan tinggi untuk memperbesar dampak sayatan. Yah, ini sesuai benar dengan tabiat Narasoma yang menggebu-gebu.

Naga Angin 1Where stories live. Discover now