Part 14 #C

176 27 11
                                    

Aku merindukan kamu, mas.

***

Pagi ini kami berkeliling kampung. Kami menggunakan sepeda, karena kakiku masih sedikit sakit, aku hanya membonceng pada Kak Akbar. Kami pergi ke perkebunan milik nenek yang kecil. Disana ada sungai kecil yang mengalir jernih. Siti mengambil daun lalu mengalirkannya di sungai. Airnya lumayan dingin membuat mata Kak Akbar terbuka setelah membasuh wajah menggunakan airnya.

Aku berjalan dituntun oleh Kak Akbar, karena Siti mengeluh berat terus. Kami berfoto menikmati suasana kebun dengan langit yang cerah hari ini. Having fun sekali hari ini. Bisa menikmati keindahan alam dimana ibuku dilahirkan, Pandeglang. Ditambah ditemani mereka yang kita sayang, berbagi cerita bersama.

Seraya menghirup udara yang segar, aku tidak sabar untuk berkunjung ke tempat Siti dan kak Akbar. Yang juga terkenal dengan keindahan Alamnya. Mereka bilang "terlahir ketika Tuhan tersenyum". Aku yakin setiap daerah pasti punya keindahan tersendiri. Apalagi dengan seribu kenangan yang tak bisa terlupkan.

Kalau kakiku belum membaik, terpaksa keberangkatan menuju Bandung harus tertunda satu sampai dua hari. Untung saja Kak Akbar dan Siti tidak masalah.

Ketika kami asyik bermain, selintas aku melihat Mas Nara. Dia ada di kebun miliknya. Dia terlihat memeriksa tanaman, tak jauh dari kebum milik nenek. Tanahnya cukup luas, dia banyak memperkejakan warga sekitar untuk membantunya.

Aku meminta pulang pada Kak Akbar dan Siti. Siti mungkin tak bisa berhenti curiga ketika aku terlihat gugup. Akhirnya Siti juga melihat Mas Nara dab berlari menghampirinya.

" selamat pagi Mas..." sapanya dengan ramah.

" selamat pagi..." jawabnya.

" Li, Kak Akbar sini..." ucap Siti melambaikan tangannya. Membuat aku tak mungkin menolaknya.

Aku menghampirinya dengan berpegangan pada Kak Akbar cukup erat. Seraya membantunya berjalan. Kak Akbar sangat berhati-hati dengan kondiai Aliani. Sangat peduli. Menjadi pemandangan aneh bagi Nara.

" ini kebun milik Mas?" Siti bernasa basi.

" bukan, kalau ini milik ibu saya, saya hanya menanamkan bibitnya saja agar kebunnya bermanfaat. Kalau dibiarkan kan kasihan" ucapnya dengan rendah hati. "tapi maaf apa kita kenal sebelumnya?" pertanyaan Nara beggotu dingin dan terdengar angkuh.

Ekhem, Siti berdehem kesal. " hebat, Mas ini masih muda tapi jago, rendah hati pula" ucap Siti. "saya Siti, temannya Aliani" mengulurkan tangannya. "yang kemarin mas tolongin" tukasnya.

Nara lun menyambut uluran tangan Siti, "Nara...".

" tanamannya bagus, sepertinya kamu paham sekali" ucap Kak Akbar.

" oh itu, Alhamdulillah saya juga kuliah tentang pengolahan tanah dan tanaman, jadi sedikitnya mengerti" jelas Mas Nara.

" ITB?" tanya kak Akbar. Mas Nara tersenyum menganggukan kepalanya.

" wih keren" ucap Siti mengacungkan ibu jarinya ke hadapan Nara.

Kemudian, kami berbicara satu sama lain. Lebih Aku menatap wajah, rasanya ingin mennagis. Namun saat aku terpaku, dia menangkap tatapanku kembali. Tapi ada yang aneh. Dia benar tak mengenalku, atau memang tak mau mengenalku. Dia tiba - tiba seperti pusing. " Mas kenapa?' tanya Siti. " tidak apa - apa. Mungkin hanya kelamaan berdiri saja" ucapnya. Setelah kami tiba di saung miliknya, kami pamit pulang.

Saat aku dan Kak Akbar pulang, Siti masih berbicara dengan Mas Nara. Entahlah tentang apa. " Siti...." panggilku padanya.

Siti berlari mengambil sepedanya. Mempersembahkan senyuman di bibirnya pada Nara yang masih terduduk di saung. Sumringah, tapi adanrasa nyeri dalam dadaku. Melihat kedekatannya dengan mas Nara. Kak Akbar pun langsung mengajakku dan Siti pulang.

The Martial Art of loveWhere stories live. Discover now