Part #10C

215 24 4
                                    

Esok harinya, Aliani hanya terdiam di kamar. Nara mencoba menunggunya keluar. Namun Aliani tidak keluar juga. Lebih dari delapan jam Aliani belum keluar setelah waktu sarapan tadi. Nara tetap duduk di kursi ruang tamu. Mungkin Aliani butuh waktu untuk sendiri. Sementara Nara tidak bisa menghiburnya dia akan membiarkannya seperti itu, hingga kondisi Aliani bisa diajak bicara lagi.

Nara memberikan waktu untuk Aliani berfikir dan merenungkan diri. Setelah apa yang terjadi kemaren. Rasa kecewa, terluka dan sesak dalam jiwa meracuni tubuhnya. Seakan mematikan seluruh organ vital di dalam tubuhnya, tak berfungsi, tidak dapat bekerja normal. Meski Aliani terlihat menunjukan senyum terbaiknya di hadapan Nara. Semu.

Mentari telah berganti.

Langit biru kini berhiaskan bintang – bintang.

Ditemani terangnya bulan.

Memancarkan cahaya kebahagiaan.

Hingga malam tiba Aliani belum keluar. Nara sedikit khawatir namun dia percaya Aliani tidak akan melakukan hal – hal aneh. Nara pun duduk di teras rumahnya. Menikmati malam yang terang.

Sesuatu mendorong Aliani keluar kamar. Rasa haus yang dirasa kini tak bisa ditahan, Aliani mengambil minum di dapur. Saat Aliani melihat pintu depan terbuka, sempurna matanya terbelalak mencari tahu. Dia pun langsung menghampirinnya. Melihat apa yang menyebabkan pintunya terbuka.

" Mas Nara?" tegur Aliani pada laki – laki yang sedang duduk di teras.

Nara langsung menoleh," iyah" sembari menyerngitkan dahinya seakan bertanya 'ada apa?'.

" Mas sedang apa disini? Mas belum tidur?" kelakarnya sangat penasaran apa yang sedang dilakukan Nara malam – malam di luar rumah.

" kamu sendiri? Apa kamu tidak bisa tidur?" lemparannya pun kembali, Nara malah balik bertanya pada Aliani.

" Mas ini, ditanya malah balik tanya" desah Aliani mengeluarkan karbondioksidanya.

" duduklah" Nara pun menarik lengan Aliani agar  duduk disampingnya.

Tanpa mengelak, Aliani duduk berdampingan dengannya. Menghirup udara malam yang segar. Menatap indahnya langit malam itu. Aliani mengingat malam saat mereka di Alun – alun. Satu malam sebelum pernikahan itu. Begitu Indah. Langit yang berhiaskan bintang, pun bulan memancarkan cahayanya. Menyimpan seribu harapan akan sebuah kebahagian. Daannn saat mentari menyapa, semua terjadi begitu saja.

Neraka seakan menghampiri Aliani. Deburan api siap menerkamnya. Begitu pedih, menyayat hati. Rasanya tak tertahankan. Bagaikan berada diujung tebing dan siap menerbangkan diri pada bebatuan.

" apakah rasa itu begitu menyakitkan?" tukas Nara membuyarkan bayangan itu.

" sudahlah" jawab Aliani berhembuskan udara mengitarinya. Aliani tak bersemangat untuk membahas hal tersebut.

" kenapa? Apakah sangat menyakitkan, hingga untuk menjawabnya saja kau tak sanggup" dengus Nara sedikit kesal. Aliani hanya diam.

" sebesar itukah cintamu pada Ami?" matanya meneliti seluruh wajah Aliani. Aliani terkejut mendengarnya. " hingga kau tak berdaya untuk melanjutkan hidup ini?" cakapnya bernada tinggi.

Matanya pun mulai meretas butiran air mata, memandang Nara dengan tajam menahan amarahnya. " kenapa kamu lakukan ini,? Tidak bisakah kau bertahan? Aku menunggumu keluar dari kamar itu, tapi kamu sedikit pun tak memberikan tanda. Perasaanku tercampur aduk mengkhawatirkan keberadaanmu. Bagaimana kalau kau terluka dan menyakiti dirimu, dan ...." terdengar jelas perasaan itu tak berlanjut saat Aliani membuka mulutnya.

" tidak bisakah Mas tidak berbohong padaku" perlahan Aliani menelisik wajahnya. Nara terdiam memikirkan. " untuk apa Mas mengkhawatirkan aku? Semuanya terjadi begitu saja", Mengalihkan wajahnya tak percaya,  "aku pun tidak mengerti mengapa seperti ini? sedih, ataupun kecewa, semuanya menjadi satu. Entah untuk perasaanku atau untuk diriku sendiri yang bodoh ini" Aliani menggertak dengan airmata yang telah mencair di pipinya. " jika aku mampu untuk berlari, aku pun ingin pergi jauh... jauh sekali...." tertunduk tak mampu menatapnya.

" jangan seperti ini lagi" tuturnya menyentuh kepala Aliani. " sungguh aku tidak sanggup melihatnya. Begitu meyesakan dada. Hiduplah seperti biasa. Aku tidak ingin melihatmu seperti ini lagi" perlahan Nara mendekap Aliani. Mengiringnya bersandar dpada tubuhnya dengan sejuta perasaan di hatinya. Aneh, seakan rasa 'lega' menghampirinya.

Kehangatan pun memeluk jiwa yang sepi nan sunyi. Menyingsingkan angin yang menusuk kulit. Mengusir dinginnya malam ini.

" hapuslah airmatamu". Jemari Nara mendarat dipipinya. Sontak Aliani mendongkak kearahnya.

" iyah.." jawab Aliani merasa tidak enak setelah menangis di pelukan Nara.

" dasar cengeng, selalu saja menangis" melihatnya menggelitik Nara sembari menyimpan rasa canggung di hadapannya. " maafkan aku, ya Allah apa yang telah aku lakukan padanya tadi? Memeluknya? Apa yang aku pikirkan, tidak seharusnya aku seperti itu" tuturnya dalam hati.

Aliani pun merasa gugup. Tidak seharusnya ia menangis di hadapan Nara. Aliani mencoba menghindarinya, beranjak dari dekapan Nara. Langsung pergi ke kamar. Nara hanya menatap aneh melihat sikapnya seperti itu.

*_*

Aku pun terdiam, duduk di atas kasur. Tiba – tiba terpikirkan hubunganku dengannya. Aku selalu menangis dihadapan Mas Nara. Juga menunjukan sifat jelekku di depan Mas Nara tanpa rasa jaim. Dia menerima semua kekurangan yang ada pada diriku. Aku juga mudah tertidur didekatnya. Aku selalu merasa senang ketika bersamanya.

'aduh, kok aku jadi mikir macam - macam sih, kayanya abis berantem kemaren bikin otakku geser' Aliani bergumam sendiri di dalam kamarnya tak percaya pada apa yang dipikirkannya sendiri.

Semua perasaan itu seakan menghibur kepedihan Aliani. Memberikannya semangat baru. Tak mampu Aliani untuk menolaknya. Seakan semua berjalan, mengalir begitu saja. Menikmati semua perasaan yang singgah di dalam hati.

Detak jantung yang semakin kencang, berirama tak beraturan ketika Aliani di dekatnya. Perasaan ini muncul. Berbeda ketika Aliani pun berada di dekat mas Ami. Perasaan suka itu ada, namun sesuatu terasa tak sama. Ada hal yang tak Aliani dapatkan saat bersama Ami. Samar -  samar.

Aliani pun tak mengerti dan faham. Apa yang dirinya rasakan. Rasanya senang sekali. Aliani menyukai saat – saat bersamanya. Canda dan tawa. Melihat senyumannya membahagiakan jiwa. Udara seakan menjadi panas, menghasilkan pipi Aliani memerah, merona.

'Rasaku ingin berteriak. Gembira bersamamu. Menunjukan rasa di dalam hatiku kepadamu. Hihihi. Senyumku tak mampu untuk disembunyikan lagi' gumamnya di dalam hati. Mengingat peristiwa kebersamaannya bersama Nara. Sungguh menyuguhkan bahagia untuk jiwa yang sepi.

Aliani pun melemparkan tubuhnya ke atas kasur. Merasa malu pada diri sendiri. Menarik selimut menutupi tubuhnya. Seakan mencoba menutupi seluruh rasa malu yang menerpanya. Melenyapkan diri pada mimpi indahnya. Menyatu dengan bintang bintang yang menyeruak di langit.

Hingga mentari menyapa, indahnya hari yang cerahkan jiwa.  Menyisakan luka yang perlahan menyiksa jiwa.

Wahai langit, cerahkan aku dengan kisahmu. Seperti saat setelah hujan kau berikan pelangi.

Wahai langit, teduhi aku dengan kisahmu. Seperti saat mentari  menyengat  dengan sinarnya kau berikan awan.

Agar aku dapatkan kisahmu, yang menyimpan sejuta kenangan indah bersamanya.

The Martial Art of loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang