PART 6

222 28 2
                                    


Rumah kosong, baru saja pukul 6 pagi. Nara sudah tidak ada di rumah. Entah jam berapa dia berangkat, ada urusan penting hingga membuatnya sibuk setiap hari.

Satu minggu ini Nara memang sibuk, membuat Lian merasa aneh. Ketika meninggalkan rumah, Nara belum juga datang. Lian merasa kehilangan, tidak ada orang yang selalu mengganggunya. Tidak ada orang yang tenang dan selalu menjaganya ketika menangis, dan terkadang  marah- marah tanpa alasan.

Lian hanya membersihkan rumah, lalu menonton televisi, terkadang dia harus tertidur di sofa karena menunggu Nara pulang. Aktivitas itu dilakukan selama lebih dari satu minggu ini. Nara tidak mengatakan apapun. Tak ada yang harus ditanyakan pula.

Kesepian, Aliani merasakan kehampaan dalam hatinya. Membiarkan ruang kosong menemaninya.

**

Pagi hari, beberapa anak didik Ami datang kerumah Nara. Mereka mencari Aliani. Aliani menemui mereka didepan pintu. Mereka meminta Aliani untuk datang ke lapangan mengajari jurus selanjutnya, namun Aliani menolaknya. Anak – anak itu merengek dan terus meminta Lian ikut ke lapangan bersamanya. Sangat terpaksa, Aliani tetap tidak bisa pergi, janji pada ayahnya. Kebisingan itu membangunkan Nara yang sedang tertidur. Nara menghampiri sumber kebisingan itu.

" ada apa sih? Pagi – pagi berisik banget" cakap Nara dengan mengacak – ngacak rambutnya.

" gak ada apa – apa kok Mas" tuturnya, " sudah kalian ke lapangan belajar sama Mas Ami saja yah" menepuk bahu salah satu anak.

" tapi kita pengen belajar sama kakak" ujar anak – anak itu pun merengek.

" tapi kakak tidak bisa mengajari kalian, ilmu Mas Ami jauh lebih hebat kok, jadi kalian belajar sama Mas Ami aja yah" kata Lian dengan resah.

" tapi aku mau belajar sama kakak aja" pinta salah satu anak memelas.

" gak bisa, kakak gak bisa silat, saya tidak bisa mengajari kalian" ucap Lian sedikit menggertak anak itu lalu pergi kedalam rumah.

Anak itu pun menangis tersendu. Harapannya seakan musnah begitu mendengar penolakan Aliani yang menyakitkan hatinya. Nara pun mencoba menenangkanya.

" tak usah menangis, nanti kakak coba bicara sama ka Lian yah, sekarang kamu kembali ke lapangan dulu, nanti kakak ajak kak Lian kesana" mengacungkan jari jempolnya.

" bener ya ka? Aku pengen latihan sama ka Lian" ucap anak itu.

" aku juga" temannya menyambung.

" kakak coba yah, kalian kembali lah" ucap Nara menenangkan anak – anak.

Setelah Nara membiarkan anak – anak itu kembali ke lapangan, Nara menghampiri Lian yang termenung di meja makan.

" kamu tuh gak mau dibentak sama orang, tapi kamu sendiri tidak lebih baik dari itu" cakap Nara menegurnya.

Lian tetap diam, tak menghiraukan Nara.

" apa salahnya sih kamu ajari mereka?" Nara mencoba memenuhi janji pada anak – anak itu.

" aku sudah bilang, aku tidak bisa silat mas" jawab Lian.

" tidak bisa silat?" ujar Nara sedikit bingung mengingat lembaram kertas tentang prestasi yang dilihatnya malam itu, " tapi,,, kalau cuma pukul tending kan bisa, kenapa tidak kamu ajari mereka saja, gampang kan?".

" tidak Mas, aku bilang enggak ya enggak " ujar Lian mengernyitkan dahinya.

" oke, terserah kamu saja, jika memang kamu mau melihat anak – anak itu nangis terus – terusan" tutur Nara beranjak dari kursinya.

The Martial Art of loveWhere stories live. Discover now