PART 13

169 26 15
                                    


Usai shalat magrib, Aliani kembali ke ruang rawat Mas Nara. Sekedar untuk melihat keadaannya meski berkali - kali Nara menunjukan penolakan untuk kehadirannya.

" ada yang harus ayah bicarakan" tutur ayah di depan pintu. Mengajak Aliani menjauh dari ruangan Nara. Aliani pun menurut, mengikuti langkah kaki yang menghasilkan bayangan yang menutupi keberadaannya.

" ada apa yah?" dengan seksama Aliani mencari tahu apa yang ingin ayahnya bicarakan. Terlihat serius. Tapi nampak aneh dimata Aliani, seperti ada yang ditutupi. Setelah kepergian iunya, memang ayah Aliani tidak pernah mengajaknya bicara apalagi diskusi. Meski hari - hari itu telah berlalu, kenangan pahit terasingkan dari seseorang yang teramat disayangi itu adalah hal yang tak mampu dilupakannya begitu saja. Membekas dalam sanubarinya.

" kemarin pihak Dispora menelpon ayah, katanya kamu harus mengikuti training sebelum keberangkatan untuk beasiswa kuliah kamu".

" kuliah?" sontak Aliani sangat terkejut tidak percaya dengan apa yang ayahnya katakan. Selama ini ayah selalu menolak Aliani berkontribusi di dunia silat, jauh sebelum kejadian ibu meninggal ketika kompetisi silat yang Aliani ikuti.

" iyah, beasiswa itu...." jawab ayah.

" beasiswa? Tapi...." Aliani memikirkan sesuatu tak mungkin ditinggalkannya, keadaan Nara. Disisi lain Aliani merasa senang atas dukungan yang ayahnya berikan. TIDAK. Sekali lagi Aliani hanya menggelengkan kepalanya tanpa satu katapun, pikirannya hanya tertuju pada keadaan Nara. Rasa bersalahnya kembali menghampiri, seakan membanjiri seluruh cara kerja otaknya. Tak mampu berfikir jernih dan tak tergiur dengan beasiswa itu, impian Aliani, sejak lama.

" ayah telah menyerahkan berkasnya setelah pihak sekolah memberitahu bahwa kamu lulus rekomendasi untuk kuliah ke luar negeri" jelas ayah pada Aliani.

" tapi yah aku gak bisa?" jawabnya hanya memikirkan Nara, " aku gak mungkin pergi. Ayah tau kan semua yang terjadi sama Mas Nara itu karena aku. Coba kalau Mas Nara gak nolongin aku, gak mungkin aku bisa berdiri seperti ini. Aku tidak mungkin pergi" pilunya.

" baiklah, kalau itu keputusanmu, sekarang ayah tidak bisa memaksa, terserah kamu aja" ucap ayah mengelus kepala Aliani dengan lembut. Aliani tersenyum tipis pada ayahnya.

Tang ting tung tang ting tung.

Nada dering panggilan di handphone Aliani pun pergi meninggalkan ayahnya.

__*

Ayah Aliani masuk ke ruangannya. Nara membalikan badannya. Memperhatikan lelaki paruh baya itu dengan seksama.

" ayah, bisakah saya bicara sebentar" pinta Nara pada ayahnya Aliani.

" tentu nak" jawabnya, "bagaimana keadaanmu?" lelaki paruh baya ini memperhatikannya.

"baik, sudah jauh lebih baik" jawabnya dengan membenarkan posisi, " maaf sebelumnya, gara - gara saya Aliani tidak ambil beasiswa itu, tapi saya yakin dia sangat ingin kuliah disana".

" iya, ayah tahu. Itu adalah salah satu impiannya semasih ibunya hidup" tutur ayah tanpa ekpresi.

" bawa Aliani pulang. Saya akan baik - baik saja disini, tapi ayah harus janji tidak pernah memberitahu Aliani" tukasnya tanpa basa basi.

" maksud kamu?" Ayah Aliani tidak mengerti apa yang diamksudkan Nara. "Aliani rela melepaskan beasiswa itu karena dia merasa bersalah, dan tidak ingin meninggalkan nak Nara dalam keadaan seperti ini".

" tapi saya akan jauh merasa bersalah, jika dia tetap disini. Apalagi dia harus melepaskan beasiswa itu, saya tidak bisa" pangkasnya, "saya akan menyuruhnya pulang, sebenarnya sudah dari kemarin saya sudah menyuruhnya pulang dengan kasar tapi tetap saja dia disini. Mungkin ini akan menyakitinya, tapi demi impiannya dia harus ambil beasiswa itu, dengan begitu saya pun tidak akan merasa bersalah atas semua ini" sambungnya meminta pengertian ayah Aliani.

Hembusan udara menguapa di antara langit - langit ruangan, " baiklah! Ayah mengerti, ayah akan membawanya pulang, terima kasih karena kamu sudah banyak membantu Aliani,, dan selaku orangtuanya ayah minta maaf karena Aliani nak Nara jadi seperti ini" Ayah mengulum senyuman untuknya.

"tidak Ayah, ini bukan salah Aliani. Tuhan telah memberikan skenario ini untuk saya" ujarnya. "maaf, saya tidak bisa menjaga Aliani" gumamannya hampir saja tak terdengar menyisakan penyesalan.

Malam ini Aliani dan ayah menginap di rumah sakit. Hingga keesokan pagi mereka masih menemani Mas Nara. Aliani terlalu bertekad untuk menebus dosa - dosanya, menghapus rasa bersalahnya.

Saat pagi telah tiba Nara harus memeriksakan keadaannya, rutin. Kemudian tidak lama sarapan untuk pasien tiba di kamar. Aliani menghampiri Mas Nara, membantunya untuk makan. Karena tante Lulu belum datang dan ayahnya sedang keluar.

Aliani mendekat ke arah ranjang milik Nara, " Mas Makan yah..." ucapnya mengambil mangkuk buburnya.

" tidak" malasnya.

" tapi Mas, Mas harus makan lalu minum obat biar cepat sembuh" ucapnya dengan lembut mengulum senyuman untuk Nara.

" tidak perlu" jawabnya dengan sikap yang dingin.

" coba yah..." Aliani tetap menyodorkan sendok buburnya.

" enggak......" ucap langsung memalingkan wajahnya. dalam hitungan detik hentakannya menghentikan detak jatuk Aliani. Pantang Menyerah. Aliani tetap menawarkan makan padanya. Sehingga tekanan darahnya pun meningkat, " aku bilang tidak perlu" ucapnya mengibas tangan Aliani hingga mangkuknya terjatuh.

Prrraaaang... prang .. prang

Aliani sangat terkejut. Nyerinya merasuki dada. Merasuk hingga pembuluh darahnya. Menyisakan ngilu di sekujur tubuh. Rasa bersalah kembali melumuri tubuhnya, dosa yang tak termaafkan. Mengunci mulutnya yang sangat ingin meminta maaf. Dan memohon ampunannya.

" sudah kubilang pergi..." sungutnya menggertak Aliani dengan volume penuh mengisi ruangan. " jangan pernah muncul di hadapanku lagi".

Aliani hanya tertunduk. Menyisakan isakan yang tertahan. Perih sekali. Hati ini sangat nyeri, seperti duri telah merajamnya. "maafkan Aliani mas..." isakannya mengiringi tanpa jawaban sedikitpun dari Nara, mengambang terhanyut dalam keheningan.

" Nara... apa yang kamu lakukan nak? Kenapa membuatnya menangis?" tante Lulu baru saja membuka kenop pintu ruangan, menegurnya setelah melihat Aliani keluar dengan keadaan sembab dan dilumuri airmata di pipinya.

hehhh, Nara ingin menutupi semuanya. Lidahnya kelu, menyulitkan hatinya.

" ini yang terbaik untuk Aliani Mah".

" tapi kamu semakin membuatnya merasa bersalah" tante Lulu sangat mempedulikan Aliani.

" aku juga tidak ingin seperti ini, tapi ini satu - satunya cara, tidak ada pilihan lain Mah" bola matanya pun memancarkan kebenaran, meyakinkan dirinya benar atas apa yang telah dilakukannya.

" Aliani sangat peduli padamu, tidak seharusnya kamu memperlakukannya seperti itu" tante Lulu langsung memeluknya. "masih ada pilihan tanpa harus menyakiti hatinya, nak" lembutnya menenangkan hati.

" Nara tau Mah, tapi jika dia terus di samping Nara, dia tidak akan bisa mencapai mimpinya, Nara tahu beasiswa itu adalah impian Aliani untuk bisa belajar ke luar negeri, jika dia tetap disini pun Nara tidak bisa menjaga dia, dan itu membuat Nara tersiksa, ..." pilu hatinya pun membara, tetesan airmatanya membasahi kain yang dikenakan tante Lulu.

Hari itu, ayah pun mengajak Aliani pulang kerumah neneknya. Meninggalkan rumah sakit dan keluarga Nara. Meski tak mengetahui secara langsung apa yang telah terjadi, ayah Aliani memutuskan untuk mengurus keberangkatan Aliani. Meninggalkan Pandeglang, Kota penuh kenangan.


Sebesar apapun usaha menebus rasa bersalahnya, akan sia - sia. Dia tidak akan pernah memaafkan. Hingga rasa itu pun menghantui.

The Martial Art of loveWhere stories live. Discover now