lima

130 23 47
                                    

Orens tak pernah menyangka jika seorang Prameswari Putri Diwangka—Ibu Benjamin—memperlakukannya dengan begitu ramah. Sejak ia menginjakkan kaki di rumah mewah ini tadi, Orens diajak berkeliling melihat segala koleksi Ibu dua anak itu. Mulai dari perabotan antik sampai tanaman yang bahkan didatangkan dari luar negeri. Wanita itu terus mengoceh panjang lebar sampai Orens kelelahan sendiri mendengarnya. Namun yang gadis itu suka, tak ada kesan sombong sama sekali pada setiap tutur kata yang dikatakan beliau.

Tadinya Orens pikir. Seperti drama korea yang sering ia lihat, ia akan berakhir dengan dicaci maki serta dihina karena ia tak sederajat dengan keluarga ini. Tapi nyatanya ia bisa menghembuskan nafas lega mengetahui bahwa Mama Ben menerimanya dengan tangan terbuka. Beliau sangatlah berbeda dari kebanyakan ibu-ibu sosialita yang lain. Serius.

“Kamu capek, ya?”

Orens hanya nyengir. Jika Ben tidak mengingatkan Mamanya tadi untuk diam, mungkin mereka tidak berkumpul di ruang makan sekarang. Mungkin makan siang mereka akan terlambat sampai jam lima sore nanti.

“Enggak kok, Ekhmm Ma?” jawab Orens gugup. Mati-matian ia sedari tadi berusaha mencoba memanggil Ibu Ben dengan sebutan Mama, bukan Tante. Hal yang cukup sulit mengingat ini adalah pertemuan pertama dirinya dengan Ibu Ben.

“Oke... Dimakan ya, Orens. Ini semua Mama yang masak. Kamu suka yang mana? Maaf ya cuma seadanya...”

Cuma seadanya? What the... Orens harus melotot kala mendengar penuturan Ibu Ben itu. Sederhana bagaimana jika sekarang yang ada di meja bahkan seperti menu-menu di restoran. Kepiting asam manis, udang bakar bumbu pedas, cumi goreng crispy, ayam teriyaki, ayam goreng crispy, telur balado, tumis kangkung, ca brokoli, kwetiaw goreng, nasi putih, bahkan nasi goreng juga ada. Orens sampai harus meneguk ludah sendiri melihat menu yang terhidang di atas meja. Sangat berbeda seratus delapan puluh derajat dengan menu makanan sehari-harinya yang cuma tempe, tahu, tempe, tahu.

“Mama gak tau kamu sukanya apa, Orens... tapi Tante harap kamu mau icipin semua yaaa,” ucap Putri kelewat bersemangat. Wanita itu bahkan sudah mulai menaruh nasi putih di piring Orens.

“Ben kamu gak ajak Cherry makan bareng sekalian?”

Ben mendengus. Membawa nenek lampir satu itu makan bersama bisa dipastikan bak sedang makan di nerakam “Ngapain?! Males banget!”

“Ih jahat kamu, Ben! Astaga! Mama lupa kalau punya anak satu lagi. SABIAN! BIAAAAAN MAKAN BARENG SINIIIIII! BIAN JANGAN TIDUR TERUS KAMU!”

“Mah! Gak pake teriak bisa?” Ben menggeleng dengan kelakuan Mamanya. Kamar Bian ada di lantai dua dan sangat jauh dari ruang makan. Pastilah kakaknya itu tidak bisa mendengar teriakan Mamanya. Jadi percuma.

Putri hanya meringis. Kemudian ia memanggil salah satu ART-nya untuk memberitahu Bian agar bergabung ke meja makan. “Kalau dia tidur bangunin aja, Mbok.” ART itu pun mengangguk paham lantas berlalu.

“Kenapa?” Ben menghentikan suapan pertamanya kala melihat Orens yang termenung. Bahkan gadis itu belum menaruh lauk sama sekali di piringnya. Hanya nasi putih yang diambilkan Mama Ben tadi.

Orens tersentak dari lamunan. “Gak papa kok.” Ia buru-buru mengambil satu dada ayam crispy disana. Orens mendesah lega kala mengetahui pengambilan randomnya seperti jatuh pada bagian dada lembut. Aman.

Melihat Orens hanya mengambil ayam saja. Putri mengerutkan dahi. “Kamu gak suka sama makanan-makanan ini, ya Nak?”

“Eh, enggak kok. Suka... Ekhm... Nanti saya ambil lagi, Ma.” Orens jadi tidak enak sendiri. Ia buru-buru memakan ayamnya. Dengan sebelumnya menyingkirkan bagian kulit. Jadi ia hanya makan pada bagian dagingnya saja.

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Sep 28, 2023 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

Benjamin's TriangleDonde viven las historias. Descúbrelo ahora