tiga

129 26 71
                                    

“Ren? Nanti lo jadi ke rumah Benji?”

Orens hanya memberi anggukan sambil memasukkan buku-buku paket ke dalam laci meja. “kenapa?” tanya gadis itu kemudian sambil menatap sahabatnya.

“Yah... nanti sekalian aja main ke rumah gue ya?”

“Kalo gak kesorean hehehe.” Orens nyengir. Membuat Cherry memutar dua bola matanya.

“Ih dulu aja sebelum jadian sama Benji sering main ke rumah gue!”

Cherry cemberut. Merasa tersisihkan karena ulah si Ben. Ia hanya memiliki dua sahabat di dunia ini. Ben dan Orens. Sebenarnya Cherry juga agak takut jika jadiannya Orens dan Ben membuat dua sahabatnya itu melupakan dirinya. Ia tidak memiliki teman lain selain mereka berdua karena yah--bisa dibilang Cherry sedikit menutup diri dengan pergaulan sekitar. Pun dengan Orens. Gadis itu juga tidak memiliki teman dekat lain selain Cherry. Karena tidak ada yang mau berteman dengannya yang miskin itu.

“Tenaaaang... Kita gak bakal lupain elo, Cherry sayaaaang,” ucap Orens seolah bisa membaca isi pikiran Cherry.

Obrolan mereka terhenti kala mendengar bel istirahat berbunyi. Sontak seluruh isi kelas mendesah lega karena terbebas dari pelajaran Matematika yang bikin pusing ini. Bagaimana tidak pusing jika mereka harus mengerjakan sepuluh soal-- beranak--yang harus dijabarkan dengan rumusnya masing-masing.

“Kumpulkan setelah istirahat.” Singkat. Padat. Jelas. Pak Rudy--guru matematika dengan kumis tebal ala Pak Raden-nya si Unyil--langsung melenggang pergi tanpa dosa. Meninggalkan koor kecewa dan sumpah serapah dari anak-anak sekelas. Dikira bel istirahat menyelamatkan mereka, malah kesialan justru menyertai. Alamat jam istirahat mereka bakal terbuang sia-sia untuk mengerjakan tugas di kelas.

Tapi Orens dan Cherry santai-santai saja. Tugas mereka toh sudah selesai dari lima belas menit yang lalu. Terberkatilah otak cemerlang dua gadis itu. “Emang kadang suka kebangetan ya si kumis tebal! Malah yang bikin remaja-remaja Indonesia sekarang gak bisa berkembang tuh ya kaya gitu. Ngasih tugas banyaaaak. Dikira hidup kita melulu soal sekolah apa? Kita tuh juga butuh makan, main, tidur, pacaran, napas, berak--“

“Cher! Yaudah sih yang penting kita udah selesai ngerjainnya kan?” potong Orens cepat. Sebelum Cherry melanjutkan kebiasaannya berpidato tidak jelas.

“Hehehe iyasih,” jawab Cherry nyengir.

Seorang gadis datang ke meja mereka berdua. Orens mengerutkan dahi. Jarang-jarang ada anak sekelas menghampiri mereka jika bukan karena ada kepentingan yang benar-benar urgent. Mungkin mereka takut pada Cherry? Atau ingin jauh-jauh dari sampah masyarakat macam dirinya? Anak-anak di sekolah ini--kecuali Cherry dan Ben--entah mengapa menganggap anak beasiswa sepertinya bagaikan sampah.

“Orens? Boleh pinjam tugasnya pak Rudy?” Oh. Benar kan? Gadis ini menemuinya jika benar-benar ada kepentingan. Dan bisa kalian lihat kepentingan yang seperti apa.

Sambil mengangguk, Orens mengulurkan buku tugas Matematikanya. Si cewek berambut disemir pirang itu sontak kegirangan. Namun sedetik, buku yang diulurkan Orens diambil paksa oleh Cherry. Gadis itu melotot pada si cewek pirang.
“Gak ada contek-contekan! Ngapain sih Ren lo kasih segala? Biar dia kerjain sendiri lah! Enak aja kita udah susah-susah ngerjain tapi cuma disalin! Kesenengan di dia susah di kita! Masih kecil aja udah demen nyontek gitu, gede dia mau jadi apa? Koruptor?!”

Orens hanya menunduk. Kebiasaan jika sedang dimarahin Cherry, ia tidak bisa berkutik. Sedangkan si rambut pirang langsung ngacir kembali ke tempat duduknya. Takut. “Jangan marah-marah, Cher. Nanti cepet tua,” kata Orens pelan.

“Lo sih bikin gue emosi aja! Jangan mau dibodohin sama anak-anak! Ancur udah kalo remaja-remaja sekarang udah jadiin nyontek jadi budaya. Ketika hasil lebih penting daripada proses kayanya udah jadi hal biasa ya di zaman sekarang. Sampah! Gue mending dapet nilai jelek tapi jerih payah sendiri. Ketimbang nilai bagus tapi nyolong sana-sini. Kalau gitu--”

Benjamin's TriangleWhere stories live. Discover now