"Mm ..." kali ini Eunhee memijat pelipisnya dengan gerakan lembut. "Dan aku menolaknya."

"Lagi?" Wendy membelalakkan matanya, sementara bibirnya telah membuka celah lebar. "Kau mengabaikan kesempatanmu untuk bertemu ketua Kim dalam satu meja makan yang sama?"

"Wendy, jangan bersikap berlebihan seperti ini." Eunhee bersungut sebal. "Kau tahu sendiri, bukan, tidak mudah bagiku―"

"Ya ... ya, aku tahu, tentu," potong Wendy cepat. "Tapi, kenapa? Lagi pula, pendapat negatifmu tentang mereka belum tentu benar," katanya, berpendapat.

Dua gadis yang telah menjalin ikatan persahabatan selama empat tahun lamanya itu saling bersitatap, tetapi mengandung makna yang berbeda. Wendy tentu memperlihatkan sorot menyayangkan keputusan Eunhee, sedangkan gadis yang ditatapnya hanya menunjukkan ekspresi sendu. Eunhee tidak tahu harus berbuat apa.

"Bagaimana jika mereka benar-benar tak bisa menerimaku?" tanya Eunhee, pesimis.

"Park Eunhee," lama-lama Wendy merasa geram sendiri. "Setujui ajakannya, maka kau akan bisa melihat bagaimana hasil akhirnya."

"Apa?"

"Apa kau mengerti?"

"Son Wendy―"

"Park Eunhee, please? Percayalah kata-kataku."

-oOo-

SABTU siang, Kim Jongin baru saja menyelesaikan rapat rutin yang diselenggarakan tiga kali dalam seminggu. Isinya tidak jauh dari laporan perkembangan jalannya perusahaan di berbagai cabangnya, atau melaporkan kondisi keuangan perusahaan. Siapa yang tahu jika kondisi keuangannya tidak stabil sehingga menyebabkan bencana yang besar bagi perusahaan ternama itu.

Jongin menyampirkan jas kerjanya ke atas kursi putar. Rapat yang sudah ia tinggalkan beberapa menit lalu tentu membuat kepalanya terasa penuh. Berbagai macam laporan tak mengenakkan menjadi tanggung jawab juga baginya. Ia harus menyusun banyak strategi agar perusahaan yang telah susah payah dibangun ayahnya tidak hancur lebur. Namun untungnya, Jongin telah memiliki rencana-rencana untuk perkembangan perusahaannya. Dan sebentar lagi, Jongin tinggal mengetik sesuatu di layar ponselnya, menyuruh beberapa pegawai terbaiknya menjalankan apa yang ia perintahkan.

Jongin memusatkan perhatiannya ke arah lalu lalang jalan raya kota Seoul lewat jendela besar dan tebal dari lantai sepuluh―lantai di mana ruangannya berada. Omong-omong, ia belum melihat Park Eunhee sejak tadi pagi. Dan, memikirkan Park Eunhee otomatis juga membuatnya memutar ulang pembicaraan mereka kemarin malam. Ketika Eunhee mengatakan bahwa ia belum siap untuk bertemu dengan orang tuanya dan melaksanakan makan malam seperti yang Jongin inginkan. Ya, tentu saja Jongin mengerti alasan kekasihnya, tetapi ia juga tak bisa menahan kesedihan karena hal itu.

"Wow, udara kota Seoul di siang hari sangatlah panas. Aku menyesal tidak memakai produk tabir suryaku sebelum kemari." Suara bernada berat milik seorang laki-laki tiba-tiba saja menyeruak memasuki gendang telinganya, disusul dengan debaman dari pintu ruangannya yang kembali tertutup di belakang. Refleks, Jongin memutar tubuh ke arah suara itu dan mendapati laki-laki yang sudah cukup lama dikenalnya itu tengah duduk di kursi sofa panjang sembari mengibaskan wajahnya dengan sebuah majalah di atas meja.

Manik elang Jongin mengamati laki-laki itu dalam diam. Yah, seharusnya dia tidak perlu bertanya tentang apa keperluan yang dimiliki laki-laki itu sampai-sampai dia harus datang ke ruangannya. Tetapi, aneh rasanya jika ia tidak mengucap kata apa-apa, sementara laki-laki itu berbicara dengan santai, seakan tidak ada beban berat yang bersarang di kedua bahunya.

"Tolong suruh pegawaimu mengantar minuman dingin kemari," pintanya, membuat Jongin memutar bola matanya lalu mematuhi ucapan laki-laki itu.

"Bagaimana perjalanan penerbanganmu dari Kanada, Sehun?" tanya Jongin, setelah ia menyuruh salah seorang pegawainya membawakan dua minuman dingin ke ruangannya lewat telepon. "Kau tidak tertimpa bencana atau apa pun itu, kan?"

Her, Who I LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang