PART IV

13.6K 584 10
                                    


EMPAT

"ARGGGGGHHHHH!" Teriakan yang berasal dari dalam kamar lantai dua itu membuat ketiga orang yang sedang menikmati sarapan di ruang makan terperanjat, bahkan salah satu dari mereka langsung berlari dengan kencang menuju tempat teriakan itu berasal tanpa memedulikan apapun.

"Maurel udah bangun,Kak," gumam salah satu dari dua orang yang masih terdiam di ruang makan.

"Iya, ayo kita susul Deven," ajak sang kakak menuntun adik pertamanya menyusul Deven yang sudah berlari lebih dulu. Di setiap langkah menuju kamar adik keduanya, Daniel tak berhenti berdoa dalam hati, meminta pada Tuhan agar memberikan ketabahan pada adiknya.

= = = = = M B A = = = = =

"PERGI."

"Ini aku, Rel."

"AKU GAK MAU. PERGI."

"Rel, ini aku Deven."

"JANGAN SENTUH AKU! PERGI! KELUAR! PERGIIIII! SAKITTTTT! JANGAN MENDEKAT!"

"Sayang, aku Deven bukan Varo."

Deven mengembuskan napas pasrah karena tidak berhasil menenangkan Maurel yang baru saja membuka matanya. Saat Deven masuk ke dalam kamar, ia melihat Maurel yang terduduk di atas kasurnya dengan memeluk tubuhnya sendiri dan menangis kencang, bahkan saat Maurel melihat Deven ia langsung mundur dan berteriak kencang menyuruh Deven keluar dan jangan mendekat. Maurel terlihat bagaikan orang yang benar-benar tak terkendalikan.

"Dek, ini Kakak." Irena mendekati Maurel yang masih menangis seraya menggigiti kukunya sendiri. Ia sama sekali tak menatap ketiga orang yang berada di hadapannya, pandangan Maurel tanpa arah dan kosong, bagaikan jiwanya sudah hilang entah ke mana.

"Maurel," panggil Irena dengan lembut, ia memeluk tubuh Maurel yang hangat dengan hati-hati, saat melihat tidak ada penolakan Irena pun mengelus rambut adiknya itu yang berantakan karena tarikannya sendiri. Tak ada berontakan dari Maurel, dia hanya diam di pelukan kakaknya menatap kosong ke depan namun air mata tetap mengalir dari kedua mata indahnya. Daniel mendekati kedua adiknya sedangkan Deven menatap langit-langit kamar dengan mata memerah menahan air mata yang sebentar lagi akan menetes. Perasaan Deven semakin hancur melihat Maurel seperti ini.

Tak ada yang lebih menyakitkan dari melihat seseorang yang kita cintai hancur di depan mata kita sendiri. Memang tak ada darah, tetapi terdapat luka besar yang tak terlihat. Luka yang hanya diri sendiri yang merasakan.

"Sabar ya, semua indah pada waktunya," bisik Irena tepat di telinga kiri Maurel.

"Dek, kamu harus kuat. Kita akan bantu kamu keluar dari masalah ini," sambung Daniel ikut memeluk kedua adiknya. Daniel mencoba menyadari Maurel akan kepurukannya.

"Maurel kotor, Kak, maafin aku," isak Maurel yang sudah mau membuka suara walau tidak menatap ketiga orang yang menatapnya dengan prihatin.

"Kamu gak salah jadi gak usah minta maaf ya, Sayang," balas Daniel yang diikuti anggukan oleh Irena. Dan tiga bersaudara itu pun berpelukan dengan eratnya, mencoba menenangkan hati Maurel yang hancur. Sedangkan Deven hanya terdiam, kali ini ia sudah menatap Maurel yang berada di pelukan kedua kakaknya. Hatinya tak kalah hancur, hancur karena semua yang terjadi pada Maurel dan hancur karena penolakan dari Maurel yang memandangnya sebagai Varo, sumber masalah dari semua ini.

Aku janji, aku akan selalu ada di samping kamu, tanpa kamu minta dan tanpa harus kamu terima! tekad Deven dalam hati. Ia mengusap matanya yang tanpa sadar sudah mengeluarkan setetes air mata. Air mata yang sejak tadi Deven tahan untuk tak keluar dan menunjukan kesedihannya.

-1 MARRIED BY ACCIDENT [ REPOST ]Where stories live. Discover now