2. Menuju Hutan Besar

Mulai dari awal
                                    

“Tapi kau sudah tahu soal sirep-nya.”

Selama ini Hutan Besar terkenal sering menyesatkan. Setelah menjadi bagian dari Laskar Naga Angin, Sakti tahu sebabnya. Itu karena Simpang Siur, salah satu bentuk Sirep Pelindung, yang sengaja dipasang para prajurit Naga Angin untuk melindungi markas mereka.

Murid tingkat awal dan anak-anak banyak yang tidak tahu-menahu soal sirep ini sehingga menganggap Hutan Besar angker. Namun tidak demikian dengan murid tingkat lanjut. Mereka sadar akan adanya sirep yang ditanam di Hutan Besar. Mereka mencurigai kemungkinan adanya tempat rahasia di dalam Hutan Besar. Kebanyakan menduga tempat itu adalah markas Laskar Naga Angin, yang membuat mereka dengan serta-merta juga menduga cerita mengenai pasukan rahasia yang bekerja untuk desa benar adanya.

Banyak murid tingkat lanjut yang penasaran dan mencoba menerobos Hutan Besar. Karena itulah Sirep Pelindung di sekitar markas diperbarui secara berkala. Karena keberadaan sirep ini pula, selalu ada seorang prajurit Naga Angin yang bertugas jaga di Hutan Besar untuk membantu orang yang tersesat di dalamnya. Dan setelah semakin banyak murid yang mencoba menerobos Hutan Besar, serta desas-desus adanya pergerakan bawah tanah di kalangan murid tingkat lanjut yang mencoba mengungkap sekaligus menentang keberadaan Laskar Naga Angin, sekarang dua orang prajurit Naga Angin yang menjaga wilayah ini.

Sakti tidak pernah kebagian tugas menjaga Hutan Besar, karena yang dibutuhkan dalam tugas itu adalah prajurit yang ilmu sirep-nya mumpuni.

“Ya, sudahlah. Ayo!” Sakti merendahkan tubuh, mengambil ancang-ancang. Namun sejurus kemudian, dia kembali menegakkan badan. Pandangannya terpaku ke depan.

Beberapa tombak jauhnya di depan mereka, apa yang sebelumnya tampak sebagai batang pohon, perlahan-lahan berubah menjadi sosok tubuh manusia.

“Bunglon…,” gumam Sakti. Kemunculan sosok tersebut mengingatkannya pada hewan penyamar itu.

Sakti mengenali sosok yang baru muncul dihadapannya. Orang itu adalah rekannya, sesama prajurit Naga Angin. Naga Selatan. Salah satu prajurit Naga Angin yang memiliki kemampuan sirep yang tinggi. Keberadaannya di sini pastilah karena sedang berjaga dan, tentu saja, memperbarui sirep yang terpasang.

“Apa?” tanya Naga Selatan yang samar-samar mendengar gumaman Sakti.

“Tidak apa-apa,” jawab Sakti. “Apa kau mengubah tandanya?”

“Ya. Letak maupun bentuknya.”

“Jika tidak berubah, sama saja tidak memperbarui sirep-nya,” Indraja menyahut. “Itu intinya.”

“Aku tahu,” sergah Sakti. “Lalu, kenapa kau masih di sini, Sela?”

Naga Selatan, yang akrab dipanggil Sela oleh rekan-rekannya, tersenyum. “Kenapa? Sudah jelas, bukan?”

Senyum Sela semakin lebar. Kemudian Sakti berpaling ke Indraja. Juga tersenyum. Senyum kambing.

“Terserahlah.” Sakti lantas melangkah pergi.

Beberapa langkah berlalu, Sakti merasakan perasaan aneh merasuk tubuhnya. Dia sadar telah masuk ke dalam Simpang Siur.

Satu hal khas dari Simpang Siur, hingga dinamai secara khusus, adalah kenyataan bahwa salah satu bentuk Sirep Pelindung ini meniru daerah sekitar dengan sangat sempurna. Di saat yang bersamaan, apabila ada orang yang masuk ke dalamnya, maka dengan sendirinya akan terjadi penyesuaian demi penyesuaian pemandangan yang ada untuk menggiring korban agar berjalan berputar-putar tanpa disadari.

Sakti menghentikan langkah. Kemudian mengedarkan pandang ke segala arah.

“Kebalikan dari Sirep Penidur, Sirep Pelindung lebih sulit diindrai karena tidak menyerang kesadaran. Tahu-tahu kau sudah terjebak di dalamnya.” Sakti mendengar Sela mengoceh di belakang.

Sakti tidak menanggapi Sela. Perhatiannya terpusat untuk menemukan tanda yang dibuat oleh si pemasang sirep. Tanda ini sengaja dibuat sebagai panduan agar para prajurit Naga Angin bisa leluasa menuju atau meninggalkan markas. Tanda ini bentuknya bermacam-macam dan bisa berupa apa saja. Tidak mencolok, tetapi terasa janggal dan tentu saja, tidak mudah ditemukan.

Sakti melesat dengan kecepatan tinggi. Tidak ada gunanya berdiam diri. Tanda yang ada tidak cuma satu. Ada banyak dan membentuk jalur menuju markas. Jika dia terus bergerak sembari menajamkan pengidraan dan kepekaan yang menjadi keunggulannya, dia yakin akan menemukan salah satu tanda. Lagi pula, dia sepenuhnya sadar, meski bergerak lurus, bisa saja dia sedang berputar-putar.

Sakti tidak kunjung menemukan satu pun hal aneh yang bisa dijadikan petunjuk. Sakti berhenti dan beristirahat di salah satu dahan. Tangannya menyandar pada batang pohon yang kering dan mulai mengelupas kulitnya. Napasnya ngos-ngosan. Lumayan lama dia melesat di antara pepohonan. Tidak. Hanya merasa lama. Bisa saja waktu yang dilaluinya baru sebentar.

Sakti mendengar suara menapak di belakangnya. Ternyata dua orang itu masih setia mengekor.

“Bagaimana? Menyerah?” tanya Indraja.

“Cerewet!” teriak Sakti sambil menoleh ke belakang. Hanya ada Indraja di sana. “Eh, ke mana Sela?”

“Melaksanakan tugasnya.”

Itu berarti ada yang berusaha menerobos Hutan Besar.

Sakti berkecak pinggang. Tangan kirinya menyentuh warangka keris yang tersembunyi di dalam bajunya. Baru dia ingat dengan senjata berpamornya itu.

“Kau pikir bisa,” tanya Indraja yang bisa menebak apa yang akan Sakti lakukan, “menghapus sirep ini?”

Dulu, awal-awal menjadi prajurit Naga Angin, Sakti pernah mencoba menghapus Sirep Pelindung yang mengelilingi markas, yaitu dengan menghunjamkan keris ke tanah dan menyalurkan tenaga dalam—cara yang sama untuk memasang Sirep. Akan tetapi usahanya itu tidak menghasilkan apa-apa. Sekarang, meski kemampuannya menggunakan dan menyalurkan tenaga dalam telah meningkat, bukan berarti dia mampu menghapusnya.

Simpang Siur di sekitar markas bukanlah sembarang sirep. Sirep Pelindung ini dirancang khusus, yang tidak hanya membelokkan kenyataan, tetapi juga tenaga dalam yang hendak menghapusnya. Teguran Indraja sepertinya mengingatkan Sakti akan hal itu. Bahkan pendekar setingkat Indraja saja tidak mampu langsung menghapusnya.

Sakti berdesah. Tidak ada jalan lain. Dia harus menemukan tandanya.

Sakti membalik badan. Dari sudut matanya dia sempat melihat Indraja tersenyum kucing. Sialan! Indraja tidak akan mau membantu dirinya. Malah mungkin Indraja menikmati kebingungannya.

Setelah sempurna berbalik arah, Sakti tercenung. Dia menyadari sesuatu.

Sakti memeriksa batang pohon dari dahan tempatnya hinggap. Tangannya meraba batang pohon itu. Kulit pohon itu retak-retak hampir mengelupas. Sakti meraba bagian lain. Kulitnya masih bagus dan utuh. Pohon tempatnya bertengger setengah mati setengah hidup!

Sakti tersenyum sendiri. “Cerdik sekali.”

Sakti melesat pergi. Arah yang dia tuju adalah arah hadap bagian yang hidup dari pohon yang dia temukan.

Begitu menemukan satu tanda, menemukan tanda lain terasa lebih mudah. Sakti mengikuti semua tanda itu yang menuntunnya menuju markas. Perjalanannya menjadi lancar dan menyenangkan. Yah, walau rasa senangnya lebih karena dia untuk pertama kalinya bisa menembus sirep yang melindungi markas.

Di suatu tempat di selatan Hutan Besar, Sakti turun dari ketinggian hutan, mengayun dari satu dahan ke dahan lainnya yang lebih rendah. Begitu menapak di permukaan tanah, sekelebat tangan menyergap lehernya….

________

[3] Linuwih = Anugerah / kelebihan yang didapat tanpa dipelajari.

Naga Angin 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang