Tetapi saat itu Khik-sia sudah berjaga-jaga. Dan marahlah demi melihat keganasan orang itu. Bentaknya: "Pemberianmu kukembalikan, rasakanlah sendiri golokmu ini!"

Menghindari ujung golok, ia mendekap gigir golok dengan kedua jari dan sekali dorong, ia pinjam tenaga untuk memukul. Golok itu secepat kilat terputar dan berbalik menghantam kepala si opsir. Cret, bluk ..... kepala opsir itu terbelah menjadi dua dan tubuhnyapun seperti batang pisang rubuh ke tanah.

Berbareng dengan itu kedengaran lengking jeritan wanita. Ternyata Tiau-ing yang menjerit dan terus rubuh ke tanah. Khik-sia agak bersangsi, tapi akhirnya mau juga ia mengangkat nona itu.

"Aku hampir mati terkejut. Khik-sia, apakah kau tak terluka?" tegur Tiau-ing.

"Aku tak kena apa-apa. Hai, lukamu, lukamu ...." Khik-sia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Tiau-ing sudah menelungkupi dadanya. Ternyata Tiau-ing berlumuran darah hingga pakaian Khik-siapun kelumuran juga.

Bermula Tiau-ing pimpin pasukan wanita mengejar engkohnya. Tomulun pun memimpin pasukan suku Ki untuk mengejarnya (Tiau-ing). Tiau-gi balas menyerang dan terjadilah pertempuran di malam hari yang dahsyat. Tiau-ing terkena dua batang leng-cian (panah pendek) dan kuda tunggangannyapun terkena sebatang pisau. Kuda itu binal dan lari sekuatnya.

Dalam pertempuran malam gelap yang kacau balau itu, setiap orang tak mengenal mana lawan mana kawan lagi. Tiau-ing terluka, pun anak buahnya tak tahu. Begitu ia dilarikan kudanya, juga tiada anak buahnya yang mengawalnya. Kuda Tiau-ing mencongklang ke sebuah lembah buntu dan tak terduga-duga berjumpa dengan ketiga opsir bawahan Su Tiau-gi tadi. Ketiga opsir itu juga loloskan diri dari pertempuran yang kacau itu. Mereka hendak bersembunyi di lembah situ, setelah pertempuran selesai, mereka akan melihat gelagat dulu untuk menentukan pilihannya.

Mereka bertiga adalah orang kepercayaan Su Tiau-gi, sudah tentu kenal sekali dengan Tiau-ing. Sesaat mereka tak dapat mengambil putusan. Lebih dulu meringkus si nona, baru nanti berunding lagi. Demikian keputusan mereka. Opsir yang menyerang Khik-sia itu, memang tinggi ilmu silatnya. Tapi ia jahat dan licin. Ingin ia memonopoli Tiau-ign sendiri, maka dibunuhnya kedua kawannya secara licik. Tapi ternyata ia pun mati sendiri di tangan Khik-sia.

Sebenarnya Khik-sia jemu dengan Tiau-ing. Tapi mengingat nona itu terluka berlumuran darah, tak sampai hati Khik-sia untuk mendorongnya.

"Khik-sia, tolong laukan sebuah kebaikan untukku. Tusuklah aku supaya segera mati! Dari sorot matamu, kutahu kau benci padaku. Perlu apa aku merintih minta kasihanmu? Kalau sudah membunuh aku, tentu kemarahanmu reda dan akupun tak banyak menderita kesakitan lagi!"

"Jika hatiku seperti kau, tentu tadi-tadi aku sudah tak mempedulikanmu lagi!" Khik-sia mendengus dingin.

Wajah Tiau-ing mengerut tawa dan berubahlah nada cakapnya: "Khik-sia, aku merasa salah kepadamu. Tetapi akupun pernah berbuat baik juga. Khik-sia, janganlah hanya mengingat kejahatanku saja, pun seharusnya kau memikir mengapa aku berbuat tak baik kepadamu itu. Sebenarnya aku selalu hendak bersama kau, bersama kau ...."

"Tutup mulut! Jika kau masih mengatakan hal-hal yang berguna itu, aku terpaksa melemparkan kau di sini!" bentak Khik-sia.

Tiau-ing menyeringai: "Baik, aku takkan mengomong lagi. Hanya mendengar bicaramu, menurut putusanmu!"

"Kau pernah menolong jiwaku. Akupun pernah menolong jiwamu juga. Jika kali ini aku menolongmu lagi, kaulah yang lebih untung. Ganjalan hati dan budi pada wakut yang lampu, baik jangan diungkat lagi. Kini kau menjadi isteri Se-kiat, mari kuantarkan pulang kepada suamimu," kata Khik-sia.

Rasa girang dan mendongkol tercampur dalam hati Tiau-ing. Girang karena mendapat pertolongan, mendongkol karena Khik-sia begitu getas tak berkecintaan. Meskipun menolong, tapi ia merasa dihina juga. Khik-sia tak memperdulikan anggapan Tiau-ing. Yang penting ia hendak menolong. Maka segera ditutuknya jalan darah Tiau-ing supaya berhenti mengalirkan darah, lalu dilumuri obat.

Tusuk Kundai Pusaka - Liang Ie ShenWhere stories live. Discover now