Jilid 10

798 17 2
                                    

Khik-sia tahu kalau kedua orang yang bicara itu tentulah Su Tiau-ing dan engkohnya Su Tiau-gi. Pikirnya: "Benar-benar pribadi Su Tiau-gi itu hina dina. Meskipun Su Tiau-ing itu bukan tergolong kaum Ceng-pay (lurus), tapi ia lebih baik dari engkohnya."

Tiba-tiba ia teringat sesuatu: "Hai, bukankah tadi Tiau-ing mengatakan kalau engkohnya menganggap aku dapat ditundukkan? Tetapi barusan Su Tiau-gi mengatakan kalau ia tak menganggap begitu. Habis siapakah yang menangkap aku kemari dan hendak menggunakan aku sebagai orang perantara itu?"

Baru berpikir begitu, terdengarlah Su Tiau-gi tertawa gelak-gelak, serunya: "Moaymoay, kalau begitu nyata kau tak jatuh hati kepada badak itu?"

"Aku hanya hendak memakainya sebagai pembantu kita, mengapa kau melantur begitu rupa?" Tiau-ing bersungut-sungut.

"Badak itu berkepandaian tinggi dan menjadi tangan kanan Thiat-mo-lek. Asal ia mau membantu kita, kelak kau menikah padanyapun tiada jeleknya," kata Su Tiau-gi.

Tiau-ing makin meradang: "Koko, makin lama kata-katamu itu makin rendah. Jika kau tetap bicara begitu, aku tak mau mempedulikan kau lagi."

kembali Su Tiau-gi tertawa gelak-gelak: "Baiklah, sekarang aku hendak bicara sungguh-sungguh. Dengarlah: toh budak itu menolak membantu kita, serta kaupun tak ada minat menikah padanya, perlu apa kau menahannya? Lebih baik kutungi saja kepalanya, habis perkara, agar jangan sampai menerbitkan bahaya di kemudian hari."

"Apa? Kau hendak membunuhnya?" seru Tiau-ing.

Su Tiau-gi tertawa mengejek: "Apa? Kau hendak melepaskannya? Tahukah kau bahwa 'menangkap harimau itu mudah, tapi melepaskannya sukar'?"

"Kasih tempo dua hari lagi, biar kunasihatinya lagi," tetap Tiau-ing meminta waktu.

"Tidak, budak itu berkepandaian tinggi, siapa yang berani menjamin ia tak dapat lolos? Apalagi .... ha, ha, ha, ha, hm!"

"Apalagi bagaimana? Apakah tidak mempercayai aku?" Tiau-ing tak mau mundur.

"Ya, benar, memang aku tak percaya padamu. Tahu kalau ia tak mau berpihak kita, mengapa kau tetap keberatan untuk membunuhnya," jawab Su Tiau-gi.

Gemetarlah suara Tiau-ing saking gusarnya: "Kau tak percaya padaku, mengapa tak kau bunuh sekali aku ini!"

Su Tiau-gi tertawa mengejek: "Baik, jika kau tak mengijinkan ia kubunuh, hm, jangan kira aku tak berani membunuhmu!"

Tiau-ing balas tertawa menghina: "Ayah saja tega kau bunuh, apalagi membunuh aku. Tapi kukuatir kalau hendak membunuh aku, tak semudah membunuh ayah!"

Su Tiau-gi menggembor keras: "Kau hendak menjadi anak perempuan yang berbakti kepada setan tua itu, bukan? Lihat golokku!"

Cret, dan berteriaklah Su Tiau-gi dengan sengitnya: "Pengawal, kemarilah!"

Kiranya Tiau-ing lebih cepat mencabut senjatanya dari sang engkoh. Pula ilmu silatnya lebih tinggi dari Tiau-gi, pun ia turun tangan lebih dulu. Sekali tusuk ia dapat melukai engkohnya.

Mendengar kakak beradik itu saling bertengkar, diam-diam Khik-sia mengeluh. Tiba-tiba saat itu jendela terbuka dan sesosok tubuh loncat masuk.

"Toan Khik-sia, selama ini kau selalu tak memandang mata pada kau ji-suhengmu. Sekarang jangan sesalkan aku seorang kejam!" kedengaran orang itu tertawa dingin.

Orang itu bukan lain ialah Ceng-ceng-ji. Cepat ia menyingkap kelambu terus membacok Khik-sia. Kini barulah Khik-sia tersadar siapa yang mencuri dengar tadi. Tentulah Ceng-ceng-ji itu memberitahukan semua kepada Su Tiau-gi. Tapi pengertian Khik-sia itu sudah kasip karena saat itu pedang Ceng-ceng-ji sudah mengancam ke arah dadanya.

Tusuk Kundai Pusaka - Liang Ie ShenWhere stories live. Discover now