Pada saat itu Cin Siang dan Ut-ti Pak tengah menyalurkan darah untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk. Ketika mendengar suara Gong-gong-ji, seketika panglima itu loncat dengan marahnya dan menghantamnya: "Gong-gong-ji, kau cukup menyiksa diriku!"

Gong-gong-ji menghindar ke belakang Thiat-mo-lek sembari berseru: "Bukannya berterima kasih sebaliknya mengapa memukul aku?"

Thiat-mo-lek menghadang Cin Siang: "Toako, jangan keliru menyalahkan orang baik. Adanya Gong-gong-ji cianpwe merampas kereta pesakitan karena tak ingin melihat toako menderita."

"Tindakan kalian itu apakah tidak membenarkan tuduhan bahwa aku hendak memberontak? Mo-lek, kau dan aku adalah terikat persaudaraan, tetapi kuminta ku lekas tinggalkan kotaraja ini. Aku rela menyerahkan jiwa pada putusan baginda. Jangan membawa aku pada kedosaan berani melawan raja!"

Gong-gong-ji tertawa mengejeknya: "Segala apa pernah kusaksikan, hanya belum pernah melihat seorang menteri setia yang setolol kau ini!"

Cin Siang marah, Thiat-mo-lek didorongnya terus hendak memukul Gong-gong-ji lagi. Tiba-tiba Ut-ti Pak menyelutuk: "Toako, mengapa kita tak membawa keluarga kita pergi dari kota raja ini? Dengan begitu bukankah kita tak menyalahi raja? Dengan tenaga yang kita miliki, kiranya dapatlah kita hidup sebagai petani. Apakah ini tidak lebih enak daripada terima hukuman baginda?"

Gong-gong-ji sengaja membikin panas hati Cin Siang. Ia bertepuk tangan memuji Ut-ti Pak: "Itulah yang betul! Cin thongleng, kiranya tak perlu kau meluki sawah, nanti kuajarkan kau beberapa ilmu istimewa untuk hidup. Siang memeriksa rumah-rumah, malam menerobos pintunya. Tanggung takkan habis kau makan seumur hidup. Mau minta apa, ada semua. Puluhan kali lebih nikmat daripada menjadi panglima Liong-ki-to-wi!"

"Ah, Gong-gong cianpwe hanya bergurau saja. Biarlah kuterangkan duduknya perkara yang sesungguhnya. Kami datang hendak menyampaikan kabar girang padamu, toako," buru-buru Thiat-mo-lek berkata.

"Berita girang apa? Mo-lek, apakah kau juga hendak berolok-olok padaku," Cin Siang makin gusar.

"Sungguh mati, memang berita yang mengirangkan benar-benar. Baginda telah mengeluarkan sengci membebaskan kita dari kedosaan. Kau dan Ut-ti toako malah mungkin akan dinaikkan pangkat," kata Thiat-mo-lek dengan serius.

Tetapi mana Cin Siang mau percaya. Ia menarik Ut-ti Pak untuk mendampratnya: "Kau juga tak mau mendengar kataku? Turun temurun kita adalah menteri kerajaan yang setia. Bukan saja tak boleh memberontak pada kerajaan, pun tak boleh melarikan diri dari hukuman baginda. Sudah, jangan ngaco belo, ayo ikut aku menyerahkan diri pada baginda."

"Cin toako harap dengarkan dulu omonganku baru nanti silahkan pergi," cegah Thiat-mo-lek.

Selagi mereka saling tarik menarik, tiba-tiba di luar pintu terdengar orang berseru nyaring: "Utusan baginda datang, diperintahkan Cin Siang dan Ut-ti Pak menyambut sengci!"

Cin Siang menghela nafas: "Ah, kita terlambat setindak, baginda telah menjatuhkan hukuman. Ya! Mo-lek, harap kalian sembunyi di belakang dulu, jangan sampai gaduh."

"Baiklah, dengan memandang mukamu, aku tak mau menyerobot sengci ini," Gong-gong-ji tertawa. Sedangkan Thiat-mo-lek pun turut menghaturkan selamat pada Cin Siang dengan datangnya sengci itu.

Setelah menyiapkan meja penyambutan, Cin Siang dan Ut-ti Pak berlutut menanti sengci. Ut-ti Pak berbisik-bisik: "Toako, kau sih sudah punyai keturunan, matipun tak apa. Tapi aku, jangankan anak, sedang istri saja masih belum punya!"

Cin Siang deliki mata kepada saudaranya itu. Saat itu utusan baginda sudah melangkah masuk, maka terpaksa Cin Siang tak jadi mendamprat Ut-ti Pak. Kedengaran utusan itu membacakan sengci: "Karena Cin Siang dan Ut-ti Pak setia kepada kerajaan, maka selain direhabilitir ke dalam pangkatnya semula pun Cin Siang dianugerahi pangkat Tin-kok-kong dan Ut-ti Pak menjadi Ceng-kok-kong. Demikianlah!"

Tusuk Kundai Pusaka - Liang Ie ShenWhere stories live. Discover now