Malam itu Yak-bwe gulak-gulik di atas ranjang, tapi tak dapat tidur. Kira-kira pukul tiga pagi, Se-kiat mengetuk pintu kamar kedua nona dan menyuruh mereka bangun. Setelah cuci muka dan berdandan, kedua nona itupun keluar dari kamarnya.

"Masakan hari belum terang tanah Eng-hiong-hwe sudah akan dimulai?" tanya In-nio.

"Shin ce-cu akan mengundang sekalian tetamu untuk menikmati keindahan matahari terbit, setelah itu Tay-hwe akan segera dibuka," menerangkan Se-kiat.

Diam-diam Yak-bwe geli dalam hatinya: "Tampaknya Shin ce-cu itu seorang yang kasar, tapi ternyata juga suka akan seni-keindahan. Dia mempersilahkan para tetamunya menikmati matahari terbit, itu menandakan seleranya akan seni."

Yang dijadikan medan pertemuan itu, adalah sebuah padang dataran yang luas. Ketika In-nio dan Yak-bwe tiba, di medan pertemuan itu sudah penuh sesak dengan orang. Kala itu rembulan sudah condong ke barat dan fajar remang-remang mulai memancar. Beberapa jenak kemudian, gumpalan awan putih mulai buyar, cakrawala mulai terang. Langit di ufuk timur mulai memancarkan cahaya kemrah-merahan. Dan ayampun terdengar berkokok sahut-sahutan.
Sekejap mata pula, sang roda dunia yang merah membara mulai unjukkan wajahnya. Kabut awan yang berarak-arak buyar itu, karena ditingkah oleh sinar sang surya, memantulkan cahaya warna-warni bagai untaian pelangi. Sungguh indah permai pemandangan matahari terbit di pagi hari itu.

Kini barulah tahu Yak-bwe apa maksud Shin Thian-hiong mengundang sekalian tetamunya untuk menikmati matahari terbit itu. Kiranya pemimpin perjamuan itu hendak menghidangkan suatu pemandangan yang sesuai dengan nama gunung itu: Kim-ke-nia atau puncak ayam emas.

Saat itu Thian-hiong menghadap ke arah barat, lalu menjura. Setelah itu berserulah ia dengan suara nyaring: "Terima kasih kepada sekalian Toako yang sudi memerlukan datang ke markas kami. Aku adalah seorang kasar dan tak pandai pula berbicara. Apa yang kupikirkan terus saja kuucapkan. Benar tidaknya, harap saudara-saudara sekalian suka memberi petunjuk."

Pecahlah mulut para hadirin dengan gelak tertawa.

"Aha, Shin-toako, bilakah kau belajar main rikuh-rikuhan itu? Kita adalah kaum yang berbicara dengan bahasa golok. Jika ingin mengatakan sesuatu, silahkan berbicara dengan terus terang, tak usah jual mahal seperti kaum wanita!"

Maka berkatalah Thian-hiong: "Sejak saudara Ong Pek-thong menutup mata, dalam sepuluhan tahun ini perserikatan Lok-lim tak punya pemimpin lagi. Terus terang saja, semasa saudara Ong itu menjabat pimpinan Lok-lim, akulah orang pertama yang menentang padanya. Dia mengandalkan kekuatan untuk menindas yang lemah, suka menghina sesama kaum dan tidak tepat menjalankan kebijaksanaannya. Yang paling tidak pantas, dia minta sekalian orang gagah dari Lok-lim agar mengangkatnya setinggi langit. Rupanya diangkat menjadi pemimpin saja ia masih kurang merasa puas. Ia masih bercita-cita menjadi raja muda, bersekongkol dengan An Lok-san untuk mendapat kekayaan dan pangkat. Tentang hal itu, rasanya para saudara tentu sudah maklum, maka tak perlu kubicara panjang lebar lagi. Hanya saja, tentang kesalahan saudara Ong menjadi pimpinan itu suatu hal, sedang tentang perlu tidaknya kita mengangkat pemimpin lagi, itu lain hal lagi."

"Turut pendapatku, lebih baik kita mempunyai seorang pemimpin. Dalam masa sepuluhan tahun ini, karena tiada pemimpin, jika tentara negeri menyerang, kita lantas kehilangan koordinasi untuk bantu-membantu. Kita banyak menderita karena hal itu. Malah yang lebih buruk lagi, karena kita terdiri dari kaum yang menggunakan bahasa golok, jadi seringkali tak terhindar dari bentrokan saling berebut daerah kekuasaan dan hasil rampasan. Bukti-bukti menyatakan hal itu sudah sering terjadi. Bukan saja hal itu meretakkan hubungan, pun memperlemah persatuan, hingga memudahkan tentara negeri menghancurkan kita. Kalau membicarakan hal itu, hati kita merasa sedih sekali. Sebab utama dari keadaan itu adalah karena kita tak mempunyai pimpinan."

Tusuk Kundai Pusaka - Liang Ie ShenDove le storie prendono vita. Scoprilo ora