1. Di Besalen

682 18 0
                                    

BARA API itu merah terang menyala-nyala. Panas dan terangnya bertambah kala udara menyapu tungku tempatnya berada. Saking panasnya, bilah logam yang ada di atasnya memijar hingga sewarna bara.

Udara terus ditiupkan dari ubub[1]. Orang dibalik alat itu adalah Sakti. Pemuda itu bermandi peluh, baik karena usahanya mengububi maupun panas dari tungku. Yah, panasnya benar-benar tak tertahankan.

Begitu penjepit mengambil bilah logam di dalam tungku, Sakti buru-buru lari menjauhkan diri.

“Woi, jangan kabur!” seru orang yang memegang penjepit yang tak lain adalah Sitok.

“Kau bilang itu yang terakhir untuk hari ini?” Sakti berkilah. Sudah setengah hari ini dia habiskan waktu membantu Sitok.

“Mana bisa pandai bekerja tanpa panjak[2]!”

“Biasanya bisa. Sudahlah kerjakan saja sendiri!”

Dan dentingan palu yang beradu dengan besi berpijar dan beradu lagi dengan paron yang menjawab. Sitok mulai menempa sambil menggerutu. Otot-otot Sitok menegang setiap kali mengayunkan palu besi yang berat. Siapa pun yang melihat otot-otot itu pasti tahu, pemiliknya sudah mengayunkan palu sejak masih belia.

Selama setengah tahun ini Sakti meminta sekaligus membantu Sitok membuatkan keris untuk dirinya. Keris itu untuk menggantikan keris pembagian miliknya yang patah ketika dia pakai dalam latihan. Meskipun sudah membawa Keris Naga Angin, Sakti ingin memiliki pamor yang benar-benar menjadi miliknya sendiri. Pamor yang bisa diselitkan di pinggang tanpa repot-repot disembunyikan. Pamor yang bisa digunakan sewaktu-waktu tanpa perlu risau terbongkar jati diri rahasia yang disandangnya.

Sitok sendiri tidak keberatan membantu Sakti. Sebenarnya dia juga membantu dirinya sendiri. Setelah lulus dari tingkat awal di Perguruan Naga, Sitok mendalami ilmu pandai. Maka dari itu, ketika Sakti mendatanginya, dia dengan senang hati menyambut temannya itu. Apalagi Sakti tidak keberatan menjadi panjak-nya.

“He, Sakti!” panggil Sitok.

“Apa?” jawab Sakti yang sedang asyik mengadem di sudut besalen.

“Kenapa harus dibolak-balik?” tanya Sitok merujuk pada logam yang sedang dia tempa, yang dia balik setiap beberapa kali pukulan.

Sakti mengernyitkan dahi. Berpikir. Kalau pelipatan bahan dia tahu tujuannya, untuk menciptakan guratan-guratan pada bilah. Sementara membolak-balik bahan saat ditempa, dia tidak tahu apakah itu cara khusus yang dimiliki Sitok atau memang seperti itu seharusnya.

Sakti mengangkat bahu.

“Masak kau tidak tahu?” tanya Sitok. Senyum kucing terlukis di wajahnya yang penuh peluh.

“Aku bukan seorang pandai. Cuma seorang panjak.” Sakti mencibir.

“Panjak sejatinya calon pandai yang sedang belajar. Seharusnya tahu ilmu-ilmu empu yang dia bantu.”

“Terserah apa katamu.”

“Jadi, maukah kau terima ilmu dariku?” Senyum Sitok terlihat menjengkelkan.

“Oh, dengan senang hati, Empu Sitok,” jawab Sakti tanpa ada ketertarikan sama sekali.

Satu pukulan keras memercikkan bunga api yang cukup banyak, lantas Sitok berhenti sejenak. Dia pandang Sakti dengan raut wajah bersungguh-sungguh. Sakti sampai heran dengan perubahan air muka Sitok.

“Ini adalah cara rahasia,” kata Sitok dengan roman wajah yang tetap bersungguh-sungguh. “Alasan kenapa aku membolak-balik bahan ketika ditempa…” Sitok menurunkan pandangan dan menempa sekali. Saat dia menganggat pandang, tampak wajahnya yang seperti biasa: menjengkelkan. “…biar tidak gosong.”

“Tahi!” Sakti menyumpah sembari membuang muka. Seharusnya dia bisa menduga temannya itu hanya ingin merisak dirinya. Kalaupun itu adalah cara rahasia, Sitok tidak akan repot-repot menjelaskan karena Sitok tahu dia tidak tertarik.

Sitok menyudahi pekerjaannya dengan mencelupkan bilah logam ke dalam bak air dan membiarkannya tetap di sana. Dia mengambil kendi, menenggak isinya, lalu bergabung dengan Sakti.

Sitok menyodorkan kendi ke Sakti. “Kuharap hasilnya akan lebih baik dari sebelumnya. Aku kehabisan bahan bermutu.”

Sakti hanya menanggapi dengan gumaman, kemudian menenggak isi kendi.

Sebenarnya, selama ini sudah banyak senjata berpamor yang mereka buat. Keris bermacam bentuk dan luk, badik, dan bahkan cundrik. Namun tidak satu pun pamor yang mereka hasilkan sesuai harapan.

Setelah mempelajari penggunaan tenaga dalam, Sakti menjadi tahu maksud tersembunyi guratan-guratan pada senjata berpamor. Guratan itu memungkinkan pendekar menyalurkan tenaga dalam ke pamor mereka sehingga meningkatkan daya serang.

Setiap guratan pamor menghasilkan peningkatan yang berbeda. Bahkan, setelah pemahamannya mengenai tenaga dalam dan penggunaannya semakin luas, Sakti mendapati guratan yang sama sekalipun menghasilkan peningkatan daya serang yang berbeda. Dari penjelasan Sitok dia tahu, cara pembuatan dan bahan pamor juga menghasilkan peningkatan yang berbeda-beda.

Menurut Sitok, perbedaan peningkatan daya serang di setiap pamor yang disaluri tenaga dalam terjadi karena adanya semacam hambatan yang menghalangi penyaluran tenaga dalam. Dan tidak hanya itu. Hambatan itu juga membuat sebagian tenaga dalam yang disalurkan terbuang begitu saja—Sitok mengumpamakannya seperti keringat di badan, yang menguap hilang tanpa bekas.

Sejauh yang Sitok tahu, pamor yang dibuat dengan baik mampu menyalurkan tenaga dalam dengan baik pula. Keris Naga Angin yang dipakai para prajurit Laskar Naga Angin temasuk pamor yang dibuat sangat baik dan dengan bahan yang bermutu. Sitok sendiri mengakui pamor yang dia buat selama ini belum ada yang menyamai mutu Keris Naga Angin. Kendati demikian, Keris Naga Angin pun masih tetap memiliki hambatan.

Walau bagaimanapun, tidak ada pamor yang benar-benar sempurna. Hambatan itu pasti ada. Namun, guratan seperti apakah yang paling baik dalam menyalurkan tenaga dalam? Cara pembuatan seperti apakah yang terbaik? Sakti dan Sitok ingin mengetahuinya. Membuat pamor yang memiliki hambatan terkecil, itulah yang ingin mereka capai.

“Bukannya kau menitip besi Luwu sama Konda?” tanya Sakti.

“Ya. Besi terbaik se-Nusantara.”

“Jadi, kecemasanmu itu tidak beralasan.” Sakti bangkit berdiri.

“Itu beli, Neng.” Sitok sewot sendiri.

“Setengah… tidak, sepertiga harga.” Karena ini pekerjaan bersama untuk membuat pamor yang akan dia pakai, Sakti ikut urunan membeli bahan. Dan dia tahu Konda pun ikut urun, lantaran tiap kali pesanan datang, jumlahnya selalu lebih dari yang seharusnya.

“Kau mau ke mana?” tanya Sitok, melihat Sakti memakai baju, bersiap pergi.

“Biasa,” jawab Sakti singkat tanpa perlu menjelaskan lebih lanjut. Kepada ketiga teman dekatnya, dia tidak pernah menyembunyikan jati diri dan segala kegiatannya sebagai prajurit Naga Angin. Ketiganya juga tidak pernah mempermasalah hal itu. Pertemanan mereka tetap berjalan seperti biasa. Malahan tetap padu seperti semasa di tingkat awal, meski kini kegiatan yang berbeda membuat mereka terpisah dan jarang berkumpul.

Sakti melangkah pergi.

Sementara itu, Sitok mengikuti Sakti dengan pandangnya. Terus mengikuti Sakti, yang keluar dari halaman rumahnya, berjalan di jalan desa dan… sesaat sebelum sosok Sakti menghilang dari pandangannya, seseorang mengiringi temannya itu.

Walau hanya sekilas, Sitok tahu orang itu adalah Indraja.

________

[1] Ubub = Alat untuk mengembuskan angin ke dalam tungku pandai besi; pompa.

[2] Panjak = Pembantu empu.

Naga Angin 1Where stories live. Discover now