16 - Fluttered Sandy

34 6 6
                                    


Jananta's POV

Gue nggak nyangka Keana bakal semarah itu pas tau kalo gue nggak tahu Shanin lagi dimana. Akhirnya, gue buru-buru memakai jaket dan ngendarain motor gue buat ngejemput Shanin di Starbucks.

Tapi gue nggak ngelihat Shanin sesampainya gue disana. Dari jauh gue cuma bisa ngelihat tas selempang yang biasa Shanin pake yang ditaruh diatas meja dan ... Sandy?

"Lah, San, lo disini?" Gue bertanya setelah memastikan kalau itu memang Sandy. Sandy dan rambut cokelatnya yang kelihatan nyentrik walau dari jauh. Itu memang ciri khasnya. Sandy menoleh lalu sedikit terkejut saat melihat gue.

"Iya," ujarnya sambil terkekeh. "Kok lo kesini juga, Nan?"

Gue mengernyitkan dahi, lalu duduk didepannya sambil mencuri pandang pada tas Shanin. "Gue mau jemput Shanin. Perasaan tadi lo cuma ngasihtau kalo Shanin disini, deh. Nggak bilang kalo lo juga ... lagi sama dia?" Ujar gue, lebih seperti pertanyaan.

Sandy mengangguk, "iya, gue baru aja nyampe 15 menit yang lalu. Padahal maksud gue mau ngejemput juga."

Gue mengangkat alis, "oh ... terus, Shaninnya dimana sekarang?" Tanya gue, lalu Sandy menunjuk ke arah toilet. "Lagi di toilet. Eh, itu dia." Ujarnya saat Shanin terlihat datang menghampiri meja kami. Atau lebih tepatnya mejanya dan Sandy.

"Abang disini? Ngapain?" Tanya Shanin dengan nada yang sedikit ketus. Atau cuma perasaan gue aja? Entahlah.

"Nggak papa," sahut gue. "Mau ketemu Sandy doang tadi." Ujar gue berbohong. Gue lihat Sandy hampir memprotes saat gue bilang alasan bohong itu, tapi tak jadi saat gue melihat ke arahnya. Meski tanpa kode, Sandy tahu maksud gue. Tapi Sandy nggak mendukung alibi gue. Dia cuma diam.

Shanin duduk, lalu melipat tangannya diatas meja. "Oh ..." ujarnya meski ekspresi takpercayanya kelihatan jelas dimata gue. Gue tau banget ekspresi itu.

"Jananta kesini maungejemput lo, Nin."

Sandy sukses bikin gue gelagapan. Nggak, Shanin nggak boleh tahu. Memang, tadinya gue memang berniat untuk jemput Shanin disini, tapi melihat ada Sandy, gue jadi berpikir untuk membiarkan Sandy yang nganterin Shanin pulang.

"Enggak ah," sahut Shanin. Entah kenapa ucapan itu membuat gue sedikit bingung. Apanya yang enggak, maksudnya?

"Gue pulang sama lo aja, kak." Ujar Shanin pada Sandy. Membuat gue sedikit menahan napas. Sandy hanya memasang ekspresi datar.

"Nggak, lo sama Jananta aja. Nggak kasihan? Abang lo udah jauh-jauh kesini."

Shanin tersenyum, tapi gue tahu kalo makna senyumannya lain. "Paling kesini juga disuruh Keana. Si caper Keana." Ujarnya berspekulasi. Gue hendak protes, tapi memang benar itu kenyataannya. "Udah yuk, balik." Lanjutnya sambil berdiri dan mengambil tasnya dari atas meja.

"Nin, omongan lo. Jaga." Sandy berkata tanpa mengindahkan ajakan Shanin terhadapnya tadi.

"Ya menurut lo aja, kak. Kenapa mesti boong kalo emang dia niatnya jemput gue kesini? Mending gue sama lo, yang emang dari awal inisiatif sendiri buat jemput gue."

Gue diam. Shanin, adik gue, nggak pernah manggil gue dengan sebutan 'dia'. Dan itu membuat gue ngerasa asing.

"Yuk, kak. Gue udah kelar juga belajarnya." Ujarnya tanpa menolehkan wajahnya sedikitpun kearah gue. Gue lalu mengangguk pada Sandy, memberi kode agar dia menuruti permintaan Shanin. "Selow, San. Duluan aja. Tiati, ya." Ujar gue.

Sandy lalu berdiri meski terlihat enggan. Mungkin dia ngerasa nggak enak sama gue. "Sorry ya, Nan. Gue duluan." Katanya sebelum Shanin menariknya untuk keluar dari kafe.

LatibuleWhere stories live. Discover now