8 - Jangan Minta Maaf

72 7 3
                                    

Shanin membuang wajahnya ke arah lain. Ia baru tersadar sepenuhnya kalau ia baru saja menumpahkan tangisnya di pelukan Sandy.

Oh, betapa memalukan.

“Nin, gue—” Sandy berhenti berbicara karena Shanin tiba-tiba menggelengkan kepalanya pelan.

"Udah, kak. Lo pulang aja. Makasih udah nganterin." Ujar Shanin lalu masuk kedalam rumah dan menutup pintu, sekaligus menutup peluang Sandy untuk sekedar mampir dan bertamu.

Sandy terdiam.

“Gue.. baru aja meluk Shanin, ‘kan?”

- Latibule -

“Kemarin aku pulang sama kak Sandy, Bang.”

Jananta yang sedang sibuk dengan lembaran-lembaran kertas seketika menoleh pada adiknya, lalu tersenyum. “Udah mau ngomong sama Abang nih, ceritanya?” Sahutnya jahil.

Shanin tak menggubris ejekan Jananta. Ia sudah kesal pada kakaknya itu beberapa hari belakangan dan yang Shanin ingat selama ini, seberapa kesalpun ia pada kakaknya itu, ia tak pernah marah terlalu lama karena pada akhirnya selalu luluh pada ucapan-ucapan pencair suasana milik Jananta.
Tapi kali ini tidak. Shanin tak mau tertipu lagi.

Melihat ekspresi dingin Shanin yang tak berubah, Jananta menghela napasnya. “Abang minta maaf, Nin.” Shanin mengangkat satu alisnya bingung.

“Karena apa? Karena lebih milih Keana daripada aku? Oh, nggak masalah. Aku udah kebal kok soal itu.”

Jananta melepas pulpen yang tadinya ia pegang. “Shanin, duduk dulu sini. Kita selesain sekarang, biar semuanya clear.” Ujarnya, dagunya mengedik ke arah bangku didepannya. Shanin memutar bola matanya.

“Nggak. Shanin bosen denger ocehan Abang.”

Jananta terkejut atas ucapan itu. Melihat adiknya kini berbalik hendak melangkah ke kamar, Jananta dengan cepat menarik Shanin untuk duduk diatas kursi.

Duk. Shanin duduk dengan ekspresi kesal yang masih sangat jelas di wajahnya.

“Denger. Pertama, Abang nggak pernah ngoceh panjang lebar. Abang nggak pernah bawelin kamu.” Nanta berkata serius. “Kedua, siapa yang ngajarin kamu nggak sopan gini?”

“Duh, Bang. Udahlah,” Shanin memasang senyum masam, yang kalau dilihat lebih dalam, kau bisa tahu kalau itu adalah penanda lukanya. “Kita udah dewasa, udah kuliah. Kayak ginian nggak usah dibesar-besarin.”

“Ketiga, Abang capek kalo harus berantem terus sama kamu, dek.” Lanjut Nanta lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan Shanin tanpa menghiraukan ucapan Shanin tadi.

“Keempat, kamu nggak mau masalah ini cepet selesai?”

“Masalah apa?”

“Kenapa kamu nggak suka sama Keana?” Jananta  bertanya, langsung pada poin pentingnya. “Dari dulu kamu nggak suka sama Keana. Apa alasannya?”

“Siapa bilang? Biasa aja kok.”  Shanin balas menatap kakaknya itu tajam.

“Jangan berbelit-belit, Nin. Kasih tau aja apa masalah kamu sama Keana.”

“Percuma, Bang. Itu nggak akan nyelesain masalah. Emangnya kalo aku cerita, Abang bakal mau ngejauhin Keana? Nggak, ‘kan?” Sindir Shanin.

Jananta mengerjap, lalu berdehem pelan. “Kenapa Abang harus ngejauh, Nin? Emang... Keana pernah bikin kesalahan yang fatal banget buat kamu?”

“Nggak. Kalo aku bilang aku cuma iri, gimana?”

Jarum jam dinding yang terpasang di dekat meja makan itu berbunyi pelan. Jananta terdiam. “Iri kenapa?”

“Aku iri. Aku cemburu sama Keana karena Abang lebih banyak ngeluangin waktu buat Keana daripada aku. Abang belakangan ini selalu nemenin Keana ngerjain tugas, keluar rumah malem-malem cuma buat Keana. Sedangkan, Abang nggak tau ‘kan, kalo aku juga kebingungan ngerjain tugas dirumah?” Shanin mengoceh panjang.

“Abang selalu ngutamain Keana dibanding aku. Apa sih yang bikin Abang lebih sayang sama Keana daripada aku?”

“Nggak ada perempuan lain yang bisa ngalahin rasa sayang Abang ke Mama dan kamu, Shanin.” Jananta berkata cepat. “Jangan pernah ngomong kayak gitu.”

“Loh tapi kenyataannya, gimana? Bener, ‘kan?” Shanin melipat kedua tangannya didepan dada.

“Nggak. Salah.” Sangkal Jananta.

“Oh berarti … kalo aku minta Abang jauhin Keana buat aku, bisa, dong?”

Jananta membulatkan matanya. Pupil cokelatnya mengecil. “Kamu ngomong apa sih? Abang sama Keana udah temenan hampir lima tahun, mana mungkin bisa, Nin? Dan kenapa juga harus ngejauh? Lagian, Abang masih belum bisa terima alasan kamu yang nggak logis.”

“Mana yang lebih lama, lima atau delapan belas? Shanin udah jadi adik perempuan Abang hampir 18 tahun, Bang! Tapi berkorban buat Shanin aja Abang nggak mau?” Shanin menelan ludahnya, airmatanya mulai menggenang, lagi.

Napas Jananta tertahanmelihat adiknya itu menangis. Ini diluar dugaannya, ia tak mengerti jalan pikiran adiknya itu. Separah itukah ia melukai hati Shanin?

“A-abang minta maaf, Nin.” Jananta cepat-cepat memeluk adiknya itu. Membuat tangis adiknya semakin menjadi di pelukannya. “Maaf, Abang minta maaf.”

“Nggak usah minta maaf Bang kalo akhirnya Abang ngulangin lagi!” Shanin menjerit. “Shanin kesepian!”

- Latibule -

Masalah Shanin-Jananta sudah selesai. Setelah kejadian semalam, Shanin langsung masuk ke kamarnya dan tertidur. Memang nyatanya masalah itu belum selesai sepenuhnya karena sebenarnya Jananta masih belum terlalu yakin pada alasan Shanin yang menurutnya... terlalu sepele. Tapi setidaknya Jananta mengetahuinya sedikit demi sedikit.

Shanin masih di kamarnya sekarang. Duduk bersama laptop di pangkuannya dan beberapa cemilan di sebelah kanannya. Monitor laptopnya menampilkan tab dengan tulisan “Webtoon”. Shanin memang suka membaca komik untuk mengisi waktu luangnya. Perempuan berambut cokelat itu masih berkutat dengan bacaannya hingga layar ponselnya menyala, menampilkan sebuah nama seseorang yang menelponnya.

Kak Sandy is calling...

Shanin memutar bola matanya, untuk apa kakak tingkatnya itu menelponnya pagi-pagi begini? Jangan sampai cowok berkulit putih itu mengira kalau Shanin menyukainya karena Shanin tak memberi protes apapun saat ia memeluknya semalam. No. Jangan sampe. Batin Shanin. Ia lalu mengangkat telepon itu.

“Halo?”

“Hei! Halo Nin! Lagi ngapain? Sibuk nggak?”

Shanin menjauhi ponselnya dari telinganya dan mengernyit. Bawel. Lalu menempelkannya lagi.

“Lagi main laptop aja kak. Kenapa?”

“Oh, ngerjain tugas, atau ...?”

“Nggak kok, cuma baca-baca aja.”
Di seberang sana, Sandy mengangguk ringan meski Shanin tak bisa melihatnya.

“Semalem Nanta pulang jam berapa?”

“Malem, kak. Semalem gue udah cerita sih ke Bang Nanta kalo lo yang nganterin gue pulang. Tapi kayaknya Bang Nanta nggak ngeh.”

“Oh ya? Tapi dia nggak bakal percaya juga kali, Nin. Hahaha..” Sahut suara Sandy dari seberang telepon.

“Maksudnya, Kak?” Tanya Shanin bingung.

“Hah? Oh, nggak. Hehe.” Shanin makin mengernyit.

“Uhm, kamu nggak mau makan keluar, Nin?”

“Nggak kak, makasih. Gue males keluar rumah.”

“Gue jemput! Mau nggak?”

Shanin menimbang-nimbang. Sepertinya tak ada salahnya ikut Sandy keluar.

“Yaudah, deh. Gue siap-siap dulu ya, Kak.”

Terdengar desisan kata ‘yes!’ di seberang sana, namun Shanin tak menyadarinya. Sandy tengah tersenyum senang di seberang sana.

“Oke, santai aja. Nggak usah buru-buru.”

LatibuleWhere stories live. Discover now