6 - Kesempatan Emas

32 7 3
                                    

Sandy merasa seperti penghianat saat ini. Ia terus melirik ke arah bola mata Shanin yang juga bergerak pelan seiring motor besar yang dikendarai kakaknya, Jananta, melaju pelan dari parkiran motor keluar kampus. Dan Keana yang duduk di jok belakangnya.

Berkat pertanyaan Sandy tadi siang, Shanin jadi absen kelas. Mood Shanin benar-benar memburuk dan karena merasa bersalah, Sandy berada di sebelahnya untuk menemani dan bahkan berjanji pada Shanin untuk mengantarnya pulang. Setelah ia berpisah dengan Jananta dari Kantek dan tahu Jananta akan menjemput Keana, Sandy buru-buru mengabari Shanin. Sandy tahu kalau Shanin bolos kelas gabungan dan duduk di perpustakaan seharian, tapi ia tidak ingin memberi tahu Jananta karena pasti Jananta akan memarahi adiknya itu kalau tahu adiknya bolos. Dan setelah kejadian-kejadian beberapa hari ini, Sandy rasa ia menemukan satu hal;

Shanin tidak menyukai hubungan Keana dengan kakaknya. Ah tidak, lebih tepatnya mungkin tak menyukai Keana.

Shanin menarik napas, lalu membuangnya. Jananta dan Keana sudah menghilang dari pandangannya. "Padahal tadi siang bang Nanta mau nganter gue pulang. Tau gitu, gue nggak nolak biar Abang nggak perlu nganterin Keana."

Sandy menggerakkan kepalanya ke kanan-kiri perlahan, "Tapi lagian kamu emang pulangnya sore, 'kan?" Shanin mengangguk.

"Tapi sama aja, 'kan? Lo dateng dan bikin gue makin nggak mood dan akhirnya gue bolos kelas sampe sore. Mana gue nggak nitip absen, lagi."

Sandy memundurkan wajahnya. Ia tak habis pikir dengan Shanin yang benar-benar tak sopan padanya. Berbicara lo-gue meski status mereka adalah adik dan kakak tingkat.

Padahal gue ganteng, tapi kenapa nih cewek cuek banget sih?

"Kalo Nanta tau kamu bolos, kamu bakal dimarahin nggak, Nin?" Tanya Sandy.

Shanin mengangguk, "Pasti." Membuat Sandy memutar bola mata mengingat Jananta yang padahal menitipkan absen padanya kemarin. "Tapi bodo ah." Tambah Shanin.

"Loh, kok gitu?" Sandy menyahut cepat. "Kalo Keana nyampein ke Jananta gimana? 'Kan pasti dia tau kamu nggak masuk."

Shanin mengedikkan bahu. "Entahlah. Tapi kayaknya nggak bakal deh, karna dia tau gue nggak suka sama dia dan dia pasti bakal ngerasa nggak enak. Bang Nanta juga nggak tau kalo hari ini gue ada kelas gabungan. Tapi kalo sampe dia ngadu, awas aja."

Bener, 'kan. Sandy membatin.

"Galak banget, sih," Sandy menceletuk, tanpa sadar membuat emosi Shanin kembali timbul ke permukaan. "Lo bilang apa, Kak?" Shanin memastikan. Sandy terkejut saat melihat ekspresi Shanin itu."Nggak, gapapa. Kamu cantik!" serunya.

Shanin berjalan mendahului Sandy begitu saja. Oh, sepertinya adegan tadi siang akan terulang kembali.

Dan benar, Sandy kembali mengikutinya. Tapi kali ini saat langkah mereka telah sejajar, Sandy buru-buru menarik lengan Shanin. "Mau makan dulu nggak, sebelum pulang?" Shanin menggerutu.

"Nggak. Anterin gue sampe rumah aja. Dan kalo ketemu Bang Nanta, lo harus kasih alesan kenapa gue bisa pulang sama lo."

Bingo. Kesempatan emas, batin Sandy.

"Beres!"

Sandy menduduki jok mobilnya. Ya, Sandy selalu mengendarai mobilnya ke kampus. Lalu Shanin duduk di sebelahnya. Tadinya hampir saja Shanin duduk di belakang jika Sandy tak berteriak dan memaksanya duduk di depan. "Emangnya gue sopir?!" Teriaknya tadi, ia tak tahan mengeluarkan unek-uneknya pada cewek jutek itu. Mengingat hal itu, Shanin kembali tertawa. "Freak." Gumamnya.

Sandy melirik Shanin yang sedang mengenakan seatbelt sambil tersenyum-senyum. "Kenapa kamu senyum-senyum?" Tanyanya. Shanin buru-buru membuang muka, lalu mengambil ponselnya dari dalam tas. "Kepo lo, kak."

Sandy menyalakan mesin mobilnya lalu memanaskannya hingga lima menit. Lebih tepatnya hingga Shanin berteriak memintanya untuk cepat-cepat mengantarkannya sampai rumah.

Jemari Sandy bergerak mengetuk –ngetuk pelan stir mobil. Jaket jeans yang ia kenakan menambah kesan tampannya, dan beberapa helai rambut yang menutupi matanya ia biarkan tertiup AC mobil.

"Apa sih Nin, alasan kamu nggak suka sama Keana?" Sandy tak dapat menahan dirinya lagi untuk tak bertanya. Melihat Shanin menghentikan pergerakan jarinya diatas keyboard ponselnya, Sandy buru-buru berdehem dan menambahkan. "Maksud gue.. Keana 'kan pendiem. Nggak pernah nyari masalah."

"Kak, kenapa sih lo kepo banget? Please, urusin aja urusan lo sendiri. Kurang kerjaan banget." Shanin menjawab tanpa repot-repot menoleh pada Sandy.

Gila, persis kayak Abangnya.

Ini kali pertama bagi Sandy untuk berbicara dengan Shanin dalam waktu yang lumayan lama. Dan ia bersyukur. Bukannya ingin memanfaatkan keadaan, tetapi ia pikir, dengan cara apa lagi ia bisa dekat dengan adik Jananta ini?

"Kalo lo emang di side nya si Keana, mending gue turun aja deh. Nggak usah nganterin gue." Ujar Shanin ketus sebelum memasukkan ponselnya kembali kedalam tas dan melepas seat belt, menunjukkan bahwa ia siap keluar dari mobil kapanpun juga.

"Eh eh, apaan sih?" Sandy menghentikan mobil. Shanin hendak membuka pintu mobilnya, lupa bahwa Sandy telah mengunci dari bangku driver. "Buka pintunya, gue mau turun." Ujar Shanin.

Demi apapun, Sandy baru tahu kalau Shanin sepemarah ini. Dan mood swing-nya benar-benar tak bisa dikendalikan. Sandy rasa baru saja tadi ia tertawa, sekarang sudah marah lagi.

"Nggak. Jangan aneh-aneh dong, Nin. Rumah kamu masih jauh."

"Makanya, lo di side siapa?" tanya Shanin, membuat Sandy bingung. Kedua tangan cewek itu berlipat didepan dada, seperti menantang. "Gue apa Keana?"

"Iya, iya! Oke, Shanin! Gue di pihak lo, selalu!" Sandy meyakinkan Shanin dengan dua jari yang ia acungkan. He swears. "Sekarang pake lagi seat belt nya, oke?" pintanya.

Sandy rasa, ini tak salah. Ia bukannya mau memihak, tapi Shanin adalah yatim piatu. Shanin krisis perhatian. Karena rasa iri, yang Shanin butuhkan saat ini adalah penenang. Sandy berjanji pada dirinya sendiri, perlahan ia akan membuat Shanin sadar kalau Keana tak sepenuhnya salah.

Ya Tuhan, kenapa gue jadi peduli begini? Batin Sandy sambil tersenyum kecut.

- Latibule -

Mereka sampai di rumah Shanin tak lama kemudian, dan tak menemukan Jananta dirumah. Padahal Sandy sudah mempersiapkan alasan-alasan logis yang akan ia sampaikan pada sahabatnya itu tentang mengapa Shanin bisa pulang bersamanya. Melihat Shanin mengernyit, Sandy bertanya.

"Jananta nya kemana, Nin?" Shanin mengedikkan bahu pelan. Ekspresinya berubah datar.

"Paling nemenin Keana jalan."

Sandy tertohok, entah kenapa. Apa ini yang membuat Shanin merasa kesepian?

"Sering emang, mereka jalan berdua?" tanyanya lagi.

"Ya, seminggu bisa lima kali lah. Mau masuk, kak?" Tanya Shanin lalu membalikkan tubuhnya, menemukan Sandy yang kini menatapnya dengan tatapan yang aneh.

Iba, mungkin?

"Jangan kasih gue wajah kayak gitu, kak. Gue nggak suka dikasihanin." Shanin memutar bola matanya lalu kembali bertanya. "Serius nih, mau mampir dulu nggak?!" nadanya meninggi.

Tanpa bisa Shanin tebak, Sandy maju selangkah, dan dengan mudahnya merengkuh Shanin kedalam pelukannya. Membuat mata Shanin melebar.

"Kak, lo apa-apaan?!" teriaknya. "Eh, lepasin!" tapi Sandy justru menepuk-nepuk punggung Shanin. Tanpa sadar, Shanin terdiam.

Ia merindukan pelukan seperti ini. Yang sudah lama tak Jananta berikan lagi.

Sandy tak mengeluarkan kata, begitu pula Shanin. Shanin tak membalas pelukan itu, kedua tangannya ia letakkan didepan dadanya. Tapi kini airmatanya menggenang di pelupuk. "Lo ngapain sih, kak? Gue ng-gak suka!" rutuknya, tapi suaranya kini bergetar.

Ia akui, pelukan ini mengingatkannya pada Jananta meski tak bisa mengalahkan kehangatan yang Jananta berikan.

"Biarin gini aja, sebentar." Sandy berucap. "Nangis aja, keluarin semuanya. Gue tau, Nin. Lo nggak sekuat yang orang lihat."

LatibuleWhere stories live. Discover now