10 - Hang Out

35 8 1
                                    

“Nin—”

“Buruan deh, langsung intinya.” Gue memotong ucapan Keana.

“Jananta ...”

“Bang Jananta baik-baik aja. Udah, 'kan? Lo cuma mau tau kabarnya aja, ’kan?” Jawab gue cepat.

Oke, sekarang masih pagi dan awalnya gue nggak tau apa alasan Keana ngajak gue kesini, karena sebelumnya Keana emang belum pernah ngehubungin gue hanya untuk ketemu dan bicara empat mata. Tapi setelah dia menyebut kata ‘Jananta’, gue tau apa maksudnya.

“Lo kenapa sih, Nin? Lo ada masalah sama gue?” Tanya dia. Membuat emosi gue perlahan menguap. Keana ini, nggak peka atau apa?

“Iya! Gue gak suka lo deket-deket sama Bang Ata!” Cetus gue. Gue pun berdiri dari kursi yang gue duduki. “Harusnya gue tau kalo gue bakal buang-buang waktu ngeladenin lo.”
Gue pun meninggalkan kafe, dengan Keana yang sepertinya masih mematung memperhatikan kepergian gue.

Gue nggak salah. Gue nggak jahat dan gue tau itu. Semua salah Keana. Andai dia nggak terlalu serakah untuk milikin Bang Nanta sepenuhnya, gue nggak bakal semarah ini. Andai Keana tau waktu untuk kapan minta Bang Nanta nemenin dia, gue nggak bakal terlalu iri.

Semua salah Keana.

“Udah bu, marah-marahnya?” Kak Sandy muncul dengan senyum jahilnya. Dia memang bilang dari awal kalo dia mau nunggu gue untuk ketemu Keana sampai selesai. Gue tersenyum kecut.

“Seperti yang lo liat. T-tapi kenapa sih,” Gue menggantung ucapan gue.

Why?” Kak Sandy menunggu.

“Kenapa gue nggak bisa ngeluapin semua kemarahan gue didepan dia? Padahal sama Bang Nanta aja gue udah jujur.” Lanjut gue lemas.

“Hati lo ‘kan sebenernya hati malaikat, Nin.”

Mendengarnya gue menoleh cepat. Gue bisa lihat Kak Sandy tersenyum. “Nggak usah ngeselin deh, kak.” Dia masih mempertahankan senyum menyebalkannya itu. “Bener, ‘kan? Mana ada cewek jahat yang luluh dan nangis pas dipeluk, dan—”

Shut up!” Gue melotot lalu memukul cowok putih menyebalkan ini dengan sembarangan. Entah di lengan, perut atau dadanya, gue nggak peduli. Kak Sandy kelewat menyebalkan. Dan bodohnya dia malah tertawa terbahak-bahak walaupun gue mukul dia dengan keras. “Ngeselin banget sih lo, kak!”

“Udah ... Kalo nggak bisa marah-marah, nggak usah marah, angel.

Lalu yang bisa gue rasakan selanjutnya adalah kak Sandy merangkul gue, membukakan pintu mobil untuk gue masuk kedalam.

SANDY’S POV

Gue cepat-cepat meminta Shanin masuk kedalam mobil gue sebenarnya adalah karena dua hal.

Pertama, biar Shanin cepet tenang,
dan kedua, biar Shanin nggak lihat kalo Keana sedang buru-buru menaiki taksi setelah keluar dari kafe, dan Jananta mengikuti taksi itu dari belakang.

Dari hampir setengah jam yang lalu, gue jadi penonton pertemuan Shanin dan Keana dari dalam mobil. Shanin sebelumnya cerita sama gue kalo tadi adalah pertama kalinya Keana ngajak dia ketemuan, entah untuk apa tapi gue udah feeling kalo itu pasti tentang Jananta. Dan ternyata benar, terlihat dari Shanin yang keluar dari kafe dengan wajah kesal.

Setelah itu Keana menumpangi taksi dan Jananta menyusuli dari belakang dengan motornya. Bodohnya, gue baru sadar kalo sepertinya Nanta udah merhatiin mereka daritadi, tapi semoga dia nggak tahu kalo gue juga melakukan hal yang sama.

Perlahan gue menghela napas lega setelah Jananta menghilang dari pelataran parkir.

“Entah perasaan gue aja atau gimana, tapi kok semenjak lo dateng, gue jadi nggak mood terus ya tiap hari?”

LatibuleWhere stories live. Discover now