4 - Pertemuan Empat Tahun Lalu

54 8 1
                                    

LINE

[14.02]

J. Ivander: Shanin masih dikelas?

J. Ivander: pulangnya abang jemput, ya

Shanin melirik ponselnya tanpa minat. Lampu LED benda persegi panjang itu ia biarkan berkedip menampilkan chat LINE Jananta. Ia masih kesal dengan kejadian kemarin sebenarnya. Sepulangnya Jananta dari kampus kemarin, mereka tak bertegur sapa. Lebih tepatnya Shanin yang mencoba untuk tak menghiraukan kakaknya itu. 'Bang Nanta aja bisa, kenapa gue enggak?' begitu pikirnya. Jananta pun sudah berusaha untuk berbicara baik-baik dengan adiknya itu, namun sayang, sepertinya Jananta lupa kalau Shanin juga keras kepala.

Sebenarnya Shanin sudah sering seperti ini. Marah tanpa alasan yang jelas setiap kali Jananta membahas Keana. Mungkin ini akan terdengar sangat menyebalkan, tetapi alasan sesungguhnya Shanin tak menyukai Keana adalah hanya karena iri. Ia tak mendapatkan kasih sayang seperti yang orang lain dapatkan dari orangtua mereka, dan kurangnya waktu Jananta untuknya membuat Shanin kembali merasakan krisis perhatian.

"Nanti ada kuliah gabungan, ya?" Shanin mendengar beberapa temannya berbicara pelan di belakangnya karena saat ini sedang ada dosen yang mengajar. "Iya, di gedung utama." Jawab yang lain.

Shanin menghela napasnya kasar. Kuliah gabungan berarti ia akan bertemu dengan Keana.

[14.10]

Shanindita K: gausah bang. Shanin bisa pulang sendiri

"Nin, makan dulu, yuk?" Ajakan teman-teman Shanin membuat cewek itu menoleh cepat karena terkejut. Ia baru sadar kalau dosennya bahkan sudah keluar dari ruangan. Shanin lalu memasang senyumnya dan mengangguk. "Duluan aja, nggak papa. Nanti gue nyusul." Ujarnya. Ia memang masih ingin sendiri, terlebih karena jangka waktu yang diberikan sampai kelas gabungan dimulai masih lumayan lama.

Kelasnya mulai sepi karena puluhan orang yang tadinya berada di satu tempat itu kini mulai beranjak. Shanin masih berkutat dengan buku-bukunya, mengerjakan tugas yang deadline nya masih lama. Tak apa, pikirnya. Lagipula jika mengerjakan dirumah pun, ia tak mau meminta bantuan kakaknya.

Setelah dua puluh menit dan menyelesaikan satu tugasnya, Shanin merapikan bindernya lalu memasukkannya kedalam tas. Dua diktat tebalnya ia peluk didepan dada. Ia melangkah keluar ruangan dan merasa harus segera membeli minuman dingin karena tenggorokannya terasa kering.

Sepanjang perjalanan ke kantin, Shanin terus berpikir tentang apa yang membuat Jananta sangat dekat dengan Keana dan terkesan.. selalu membutuhkan Keana. Padahal bang Nanta punya aku yang bakal mau dengerin keluh kesahnya kapanpun. Terlebih, Shanin dan Keana seumuran. Jadi apa yang membedakan mereka? Shanin merasa Jananta selalu menomorduakan dirinya. Hal ini bukan tak mendasar, tetapi memang kakak laki-lakinya itu pernah mengecewakannya hanya karena Keana.

Empat tahun yang lalu...

"Dek." Jananta muncul dari kamarnya entah sejak kapan. Shanin tak sadar karena terlalu fokus pada acara tv yang tengah ia tonton.

Shanin menengadah, lalu matanya bergerak mengikuti pergerakan Jananta yang kini mendudukkan dirinya disamping Shanin. Shanin tertawa. "Ada apa, nih? Tumben manggil Shanin 'dek'."

Jananta tersenyum canggung. "Sekali-kali nggak papa, dong."

Shanin mengambil cemilan yang ada didepannya, memakannya lalu kembali bertanya. "Kenapa, Bang?"

"Mau nemenin abang ketemuan, nggak?"

Shanin seketika tersedak. Kali ini benar-benar tersedak hingga ia harus menepuk-nepuk lehernya sendiri, membuat Jananta panik lalu berlari ke dapur dan mengambilkan segelas air untuk adiknya. Shanin meneguk air itu dengan cepat hingga habis.

LatibuleWhere stories live. Discover now