Friday (Kongpob)

1.5K 178 39
                                    

Why did it become like this?

Apakah P'Arthit marah karena aku selalu memalingkan muka setiap mata kami bertemu? Tapi itu karena aku merasa bersalah telah menjadikan dia sebagai objek fantasi liarku tadi malam. Atau dia marah karena merasakan keenggananku untuk menerima ajakannya nonton minggu depan? Tapi itu karena dari nada suaranya dia seperti mengajakku sebagai juniornya.  

Aku jadi berdialog sendiri dalam hati, setelah tadi saat aku baru saja sampai ke ruangan BEM, P'Athit langsung menghampiriku dan berkata"Buat lo dan buat orang yang minggu depan jadi pacar lo" sambil menyerahkan 2 movie preview pass  ke tanganku. "Atau lo mau ngajak Dao? Lo masih suka ma dia kan? Lo ga berhenti berharap buat jadi pacar dia kan?"  tambahnya dengan nada sedikit mengejek. 

Aku yang merasa tak terima, akhirnya berkata "Kenapa P'Arthit beranggapan seperti itu? Padahal kemarin saya benar-benar merasa senang dengan keposesifan P'Arthit pada saya" dengan nada yang lebih tinggi dari biasanya.

Kami saat ini sama-sama terdiam. P'Arthit terdiam mungkin karena terlalu terkejut dengan kemarahanku, sedangkan aku terdiam karena sedang mencoba mengendalikan amarahku agar aku bisa menganalisa lagi semuanya dengan kepala dingin.

"Kalau saya boleh menebak, P'Arthit itu memperlakukan pacar dan teman P' secara sama, sehingga pacar P' akhirnya meminta putus karena merasa tak diistimewakan. Selain itu, P'Arthit sering membuat frustasi orang-orang di sekitar P'Arthit karena selalu menyimpulkan suatu hal dengan terburu-buru dan tanpa berpikir" kataku, yang menuai reaksi "Wuah... Lo lah orang pertama yang bisa mahamin gue dalam waktu singkat" sambil menatapku dengan takjub.

Aku hanya bisa menghela napas, lalu berkata "Dengan kepribadian seperti itu, menurut saya... P'Arthit itu... Menggemaskan".

Sepertinya P'Arthit tak mengerti kalau aku sedang mengungkapkan perasaanku padanya, karena dia hanya merespon dengan "Thanks?!". Aku berniat ingin menjelaskan kepadanya, tapi harus ku batalkan karena ada seseorang yang mengetuk pintu, yang langsung di respon oleh P'Arthit dengan "Masuk...".

Aku langsung berbalik saat mendengar pintu dibuka, dan langsung merasa heran karena ternyata yang sedang melangkah mendekati kami sekarang adalah Apple, finalis star dari Fakultas Ekonomi saat Freshy Night beberapa waktu lalu.

Saat Apple berkata "Maaf mengganggu, tapi ada yang ingin saya bicarakan dengan P'Arthit" lalu kemudian menatapku, aku langsung mengerti kalau dia memintaku untuk pergi karena dia ingin bicara berdua dengan P'Arthit.

"Saya akan tunggu di luar" kataku lalu meninggalkan mereka dengan perasaan tak rela, karena firasatku mengatakan kalau Apple berniat menyatakan cinta pada P'Arthit.

Aku memutuskan untuk menunggu P'Arthit di parkiran, karena aku tak yakin bahwa aku tak akan menerobos masuk kalau aku tetap disana. Butuh perjuangan lebih untuk sampai ke parkiran, karena kakiku terasa berat untuk dilangkahkan.

Aku terkejut melihat P'Dao sedang menungguku di parkiran, karena setahuku P'Dao sudah berbaikan lagi dengan P'Bright. "Kenapa P' ada disini?" tanyaku dengan heran saat aku sudah ada di hadapannya.

 "Kenapa P' ada disini?" tanyaku dengan heran saat aku sudah ada di hadapannya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

P'Dao menjawab dengan santai."Salahmu sendiri gak mau nerima telponku lagi, setelah membuat aku penasaran dengan bilang udah nemuin orang yang lebih penting dari aku", dan aku pun hanya bisa merutuki diriku sendiri karena lupa akan sifat P'Dao yang suka mencampuri urusan orang.

Aku menghela napas dahulu, "Apa yang ingin P'Dao ketahui?" tanyaku menyerah kalah, karena aku tahu P'Dao tak akan pegi sebelum rasa penasarannya hilang.

"Pokoknya ceritain semuanya!" tuntut P'dao.

Saat aku sedang memberitahu P'Dao tentang siapa dia dan bagaimana ciri-ciri fisik dari 'orang yang lebih penting darinya', tiba-tiba ku dengar P'Arthit memanggil dari belakang "Eh... Kong!" dengan suara keras. 

Aku langsung berbalik, dan ku lihat P'Arthit berjalan tergesa-gesa ke arah kami. "Lo kenapa ga ngangkat telpon dari gue? Gue bener-bener bingung mesti nyari lo kemana waktu ga ngeliat lo ada di luar tau!" kata P'Arthit dengan kesal saat sudah ada di hadapanku.

Aku langsung mengeluarkan handphone ku, dan benar saja ada beberapa missed call dari P'Arthit. "Maaf P', handphonenya saya silent" kataku penuh penyesalan, yang di respon oleh P'Arthit dengan "Ya udah, gue maafin" sambil tersenyum.

Kalau saja P'Dao tidak berdehem, aku sepenuhnya lupa kalau dia ada di belakangku. "Ao maaf, saya terlalu kesal tadi, sehingga tidak menyadari kalau Kongpob sedang berbicara dengan seseorang" kata P'Arthit setelah memberi wai pada P'Dao.

Mata P'Dao langsung membelalak begitu melihat P'Arthit dengan jelas, karena tadi pandangannya memang terhalang oleh tubuhku, lalu dengan hebohnya berkata "So cute... Boleh kenalan ga?" sambil menghampiri P'Arthit.

P'Arthit tidak menjawab dan hanya tersenyum dengan canggung menghadapi sikap 'sok akrab' P'Dao, karena itulah ku tarik bahu P'Dao dari belakang sambil berkata "P'Dao hentikan, kamu membuat P'Arthit tidak nyaman" dan entah mengapa senyum P'Arthit langsung sirna.

Setelah beberapa kali hanya melihatku dan P'Arthit bergantian, P'Dao akhirnya berkata "Senior tingkat 3 yang bewajah cantik  tapi juga manis, dan yang kamu su... hmp" dan aku buru-buru menutup mulut P'Dao dengan tanganku, karena P'Dao sedang mengulangi kata-kataku tadi padanya. 

Aku tidak mau P'Athit merasa semakin tidak nyaman kalau dia tahu kalau aku suka padanya, karena ada kemungkinan P'Arthit sedang mempertimbangkan jawaban atas pernyataan cinta dari Apple tadi.

P'Arthit yang dari tadi diam mematung dan hanya memperhatikan interaksiku dengan P'Dao, tiba-tiba membentak "Apa-apaan sih kalian?" yang tentu saja mengangetkan kami berdua. "Kenapa dia?" tanya P'Dao sambil memegang pundakku, dan aku baru sadar kalau P'Arthit sudah tidak ada di hadapanku lagi.

Ku lihat P'Arthit sedang berlari menuju gerbang kampus, sehingga buru-buru ku tepiskan lengan P'Dao dari pundakku. Sepertinya aku menepis lengan P'Dao terlalu keras, karena kudengar P'Dao menjerit kesakitan. Aku tak memperdulikannya dan langsung berlari, karena di pikiranku saat ini hanyalah aku harus bisa mengejar P'Arthit.

Tubuhku lebih tinggi dari P'Arthit, jadi otomatis kakiku pun lebih panjang, sehingga aku kini sudah berhasil mengejarnya. "P'Arthit berhenti!" teriakku sambil menarik tangannya. Dengan sigap aku memeluk P'Arthit dari belakang, karena P'Arthit hampir tersungkur saat barusan ku berhentikan dengan tiba-tiba.

"Kenapa P'Arthit marah? Tolong bilang alasannya pada saya" kataku dengan napas yang masih tersengal-sengal. Aku benar-benar di buat kebingungan oleh P'Arthit, karena dia malah bertanya"Hari apa sekarang?" saat napasnya mulai kembali normal.

Seven DaysWhere stories live. Discover now