Part 11

1K 102 18
                                    

Aku berjalan bolak balik dengan tangan di pinggang. Sedangkan dia duduk bersandar sofa.

"Ahh, enak banget. Tidur di lantai ngebuat punggung aku sakit sama pegel-pegel." ujarnya.
Aku berhenti dan menghadap kepadanya yang mulai memejamkan mata.

"Kamu udah gila ya? Kenapa sekarang kamu suka ngelakuin hal yang gak wajar kayak gini sih?" tanyaku frustasi.

Ia membuka mata, kepalanya ditegakkan. "Ini hal wajar yang dilakuin seorang cowok buat dapetin maaf dari ceweknya."

"Tapi aku bukan cewek kamu lagi." erangku.

"Aku tau kalau kamu masih sayang sama aku." ia melirik pada tangan kiriku. "Cincin kamu belum kamu lepas."

Aku refleks menyembunyikan tangan kiriku di belakang tubuhku. Aku benar-benar sangat bodoh, kenapa aku masih suka mengenakan cincin ini saat di rumah.

"Tolong kasih aku satu kesempatan lagi." mohonnya

"Kesempatan buat nyakitin aku lagi?" delikku, "Enggak, makasih."

"Kesempatan terakhir. Kalau aku nyakitin kamu lagi. Kamu boleh tinggalin aku. Bahkan ngebunuh aku. Tapi tolong," ia melorot dari sofa menjadi berdiri dengan lutut di depanku. Membuatku mundur satu langkah, "Tolong kasih aku kesempatan."

Aku diam, terlalu kaget akan apa yang ia lakukan.

"Apa aku perlu cium kaki kamu?" ia mulai menunduk, hendak mencium kakiku. Tapi dengan cepat aku melangkah ke samping.

"Stop! Jangan kayak gini!" bentakku. Aku benar-benar merasa tidak enak sekarang.

"Kalau aku emang harus gini buat dapatin maaf sama kesempatan dari kamu. Aku bakal ngelakuinnya." ia kembali mencoba mencium kakiku. Dan aku kembali menghindar.

"Oke, oke!" ujarku. "Aku akan maafin kamu dan ngasih kamu kesempatan." putusku.

Ia mendongak dengan senyuman lebar miliknya.

"Tapi dengan satu syarat."

Senyumnya menghilang, "Apa?"

"Minta maaf sama semua selingkuhan kamu."

Aku langsung berjalan dengan cepat menuju kamar begitu selesai mengucapkan itu.

***

"Mampus! Gue pikir lo orang gila yang suka keliaran di sekitar rumah gue di kampung!" aku tersentak mendengar teriakan Sisil. Kuletakkan novel yang sedang kubaca di nakas samping kasur dan menuju asal suaranya.

Kupikir suaranya berasal dari ruang tamu, ternyata berasal dari dapur. Sisil duduk di salah satu kursi bar sedang minum air, sedangkan Boby memunggungiku. Sepertinya ia sedang memasak.

"Lo ngapain ke sini?" tanyaku.

Sisil berbalik, "Sejak kapan lo melihara tarzan?" tanyanya.

Aku beralih menatap Boby. Ia memang terlihat seperti manusia yang tinggal di hutan. Rambut sebahunya acak-acakan, jambang di rahangnya menakutkan, ditambah sekarang ia hanya menggunakan celana selutut berwarna coklat kusam tanpa baju.

Aku bergidik.

Boby berbalik, "Kamu belum makan siang kan. Tunggu beberapa menit lagi, aku lagi masak makan siang buat kita." kemudian ia melanjutkan kegiatannya.

Aku menempati kursi di samping Sisil tanpa membalas ucapannya. Sisil mencolek lenganku, ia menatapku penuh tanya. Aku hanya mengangkat bahuku.

"Kalian balikan?" tanyanya dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan.

Stay!Where stories live. Discover now