Part 10

1K 97 8
                                    

"Dia cewek gue," Nabil mengeratkan pelukannya, mataku kembali membulat. Aku mencengkram pinggangnya dengan keras. "Di film terbaru kami." lanjutnya dengan wajah tengil.

Tanpa sadar aku bernafas lega dan melepas cengkramanku.

Beberapa wartawan di depan kami memberenggut, beberapa lagi justru tertawa. Nabil adalah tipe aktor yang sangat suka mengerjai wartawan dengan pernyataan-pernyataannya yang kadang bikin pusing.

"Jadi kalian sebenarnya pacaran atau enggak nih?" salah satu dari mereka angkat bicara.

"Di film kami berpacaran, di dunia nyata kami sahabatan." jelasnya.

"Yakin, cuma sahabatan. Siapa tau kalian friend zone atau enggak HTS-an?" timpal yang lain.

"Nabil udah punya pacar." jawabku. "Nanti gue dicakar lagi sama pacarnya."

"Sorry, Shan. Lo pasti kecewa." aku memutar bola mataku mendengarnya. Sedangkan para wartawan mulai menggodaku.

"Shania lagi jomblo. Buat cowok-cowok yang lagi jomblo juga, siapa tau berminat." aku berdesis dan memukul bahunya. Jika tidak ada wartawan di depan kami, aku pasti sudah menjambak rambutnya. Kenapa dia harus berkata seperti itu.

"Heh! Sembarangan kalau ngomong!" kesalku, "Bukannya justru lo yang pernah suka sama gue. Lo sampe,-"

"Weits, yang itu gak usah dibeberinlah." potong Nabil cepat. "Kita damai, kita damai." ia menjabat tanganku.

Aku mencibir.

"Jadi Nabil beneran sempat suka sama kamu?"

Aku mengangguk, "He em, udah lama sih. Waktu SMA."

"Iye. Jadi sekarang gak usah bahas itu ya. Udah basi. Bahas yang lain aja." ujar Nabil cepat.

"Nah, mumpung Nabil minta kita bahas yang lain. Gimana kalau kita tanya siapa pacar dia sekarang." usul wartawan wanita yang ada di depanku. Aku tertawa dan menepuk-nepuk bahu Nabil.

Ini akan menjadi malam yang berat buat Nabil.

"Tapi, Bil. Cewek lo siapa?" tanyaku. Aku benar-benar tidak tahu siapa gadis yang dekat dengannya sekarang.

***

Aku sedang membersihkan make up di depan cermin meja hias saat bel apartemenku berbunyi. Dahiku berkerut, aku melirik jam dinding, 12.47. Orang macam apa yang datang bertamu di jam selarut ini.

Ting tong

Bel kembali berbunyi. Aku meletakkan kafas yang sudah kotor di atas meja dan berjalan keluar. Aku sedikit mengintip di lubang kecil di pintu. Di luar berdiri seorang pria yang membelakangi pintu.

Itu dia, aku tahu betul kalau itu dia. Tapi buat apa ia datang kemari malam-malam seperti ini. Aku menarik nafas yang dalam, secara perlahan aku memutar knop pintu.

"Ada ap,-" pertanyaan yang hendak kulontarkan tertahan di tenggorokanku. Ia tiba-tiba menarikku ke dalam pelukannya.

Aku terlalu kaget untuk sekedar mendorong tubuhnya agar melepas pelukannya.

"Maaf,"

Aku mengerjapkan mataku, mengembalikan akal sehatku. Kudorong tubuhnya.

"Ada perlu apa?" tanyaku datar. "Apa barang-barang kamu ada yang tertinggal?"

Aku ingat betul. Sehari setelah kejadian di halaman belakang rumah orang tuaku aku kembali ke Jakarta, dan mendapati semua barang-barangnya raib dari apartemenku.

"Aku minta maaf." ujarnya lirih, ia menunduk.

"Sepertinya kamu mabuk. Kamu lebih baik pulang." aku memang mencium aroma alkohol dari tubuhnya. Aku menarik pintu hendak menutupnya, tapi ia menahannya dengan satu tangan.

Stay!Where stories live. Discover now