Part 9

953 93 5
                                    

Update!
Mumpung lagi ada wifi. Tapi besok enggak.

***

Aku melempar tas ku ke atas kasur, disusul oleh tubuhku. Aku merasa begitu lelah hari ini. Pemotretan untuk sebuah majalah di pagi buta sampai siang, dilanjutkan dengan syuting sitkom hingga larut malam. Kegiatanku mulai padat, tidak seperti dulu lagi. Hampir semua tawaran yang datang aku terima, hal ini sengaja aku lakukan agar aku tidak selalu memikirkannya lagi.

Mataku baru saja terpejam saat alarm yang sengaja aku set berbunyi. Dengan malas aku bangkit dan masuk ke kamar mandi untuk bersih-bersih.

Aku tersenyum kecil saat membuka lemari di bawah wastafel, di dalamnya masih ada beberapa peralatan mandi miliknya. Tanganku hendak bergerak mengambil alat cukurnya tapi kuurungkan. Aku menutup lemari dengan cepat. Aku tidak ingin berakhir menangis lagi malam ini. Tidak ingin memulai hariku dengan mata membengkak.

Aku buru-buru keluar kamar mandi, memakai piyama dan berbaring di kasur. Kutatap langit-langit kamarku dalam keheningan. Semuanya terasa begitu sepi selama beberapa bulan ini. Aku benar-benar sendiri di tempat ini.

Aku memiringkan tubuhku dan memeluk gulingku, mataku langsung tertuju pada jaket biru yang tergantung di belakang pintu kamar. Satu-satunya miliknya yang masih tertinggal.

Aku bangkit mengambil jaket itu, memeluk dan menghirup aromanya yang masih tertinggal. Sepertinya mataku akan membengkak besok pagi.

***

"Makasih atas waktunya, Shan." aku menyambut uluran tangan dari wartawan yang baru saja selesai mewawancaraiku.

"Sama-sama, mas. Jangan kapok ya." ujarku.

"Sip, semua bisa diatur." ia mengangkat jempolnya, "Gue pamit duluan ya. Masih harus ngewawancarain Nabil. Padahal gue udah nawarin supaya ngewawancarain kalian berdua di sini, tapi dia gak bisa."

"Dia emang gitu mas. Suka sok sibuk." balasku, wartawan itu tersenyum dan benar-benar pamit.

Aku kembali duduk di kursiku dan meminum ice americcano milikku yang masih tersisa setengah. Kuraih ponselku dan membuka akun media sosialku.

"Lo mau langsung pulang atau gimana?" tanya Sisil, "Lo free sampe sore, nanti malem cuma ngehadirin premier."

Aku berpikir sebentar, sepertinya cuaca diluar sedang sangat panas. "Kita di sini aja dulu, di luar panas banget. Dan gak ada yang harus gue kerjain kalau pulang."

Sisil hanya mengangguk sebagai jawaban. Aku kembali membaca mention-mention yang masuk kepadaku.

"Shan,"

"Hmm?"

"Lo beneran udah gak pernah kontak-kontakan sama Boby?" aku mngangkat kepalaku untuj menatap Sisil.

Aku menggeleng, "Kenapa?"'

"Gak kenapa-kenapa sih."

"Ya terus ngapain lo nanya, peak?" aku mendorong jidat Sisil dengan telunjukku

"Sebenarnya gue mau memastikan kalau lo gak ada janji sama Boby di sini, sekarang." Sisil berbisik.

"Ya?" tanya ku dengan bingung.

Sisil menghela nafas, ia mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat denganku. "Boby lagi ada di sini. Dia duduk dua meja di belakang lo. Dia perhatiin lo terus daritadi." bisiknya.

Aku otomatis berbalik. Mata kami berdua sempat saling bertemu, tapi hanya sepersekian detik karena aku memilih kembali pada posisiku semula. Berusaha bersikap biasa saja.

"Apa mungkin dia ngikutin lo ya?"

Aku melirik Sisil lalu mengangkat bahuku. "Lagi meeting sama klien kali."

Boby tidak duduk sendirian, ada kak Ve dan juga Maul di meja itu.

"Tapi gue kemarin beneran liat dia di lokasi pemotretan. Demi Tuhan." ujar Sisil begitu serius. Kemarin ia memang mengatakan kalau ia melihat Boby. Aku pikir ia hanya salah lihat.

"Gue udah bilang kalau lo salah lihat. Ngapain coba Boby ke bangunan gak ke pake kayak gitu, mungkin cuman orang yang tinggal di situ. Kalau yang kemarin emang dia, mungkin bangunan itu bakalan lanjut dibangun dan dia yang jadi arsiteknya." paparku. "Ayo kita pulang aja." ajakku. Aku tidak ingin membicarakannya lagi.

Aku membereskan barang-barangku, Sisil juga melakukan hal yang sama. Ku sampirkan tas selempang kecilku dan mulai berjalan keluar cafe. Sisil mengikutiku dari belakang. Saat aku akan melewati meja Boby, aku tersenyum dan sedikit membungkuk kepada kak Ve dan juga Maul, tentu saja kepada Boby juga. Kak Ve dan Maul membalas senyumanku, meski dengan kikuk. Sedang Boby hanya diam, ia tidak bereaksi apa pun kecuali terus menatapku dengan tatapan yang tidak kumengerti.

Aku tahu ia tidak pernah melepas pandangannya dariku, bahkan saat aku sudah di dalam mobil. Tapi aku mencoba untuk tidak peduli. Aku takut kehilangan kontrol atas diriku.

Sejujurnya aku khawatir padanya. Keadaannya terlihat tidak sedang baik-baik saja. Rambutnya lebih panjang dari terakhir kami bertemu, -cenderung berantakan-, kantung matanya menghitam, dan bulu-bulu halus mulai tumbuh di sekitar rahangnya. Sangat jauh berbeda dengan Boby yang aku kenal rapih.

Apa terjadi sesuatu dengannya? Apa dia baik-baik saja? Kenapa sorotnya mata seperti itu?

Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalaku.

Sebuah tepukan di lenganku menyadarkanku. Aku menoleh dan mendapati Sisil menatapku dengan khawatir.

"Lo gak papa kan?" tanyanya.

"Gue gak papa." aku tersenyum, "Kita ke butik dulu ya buat ngambil gaun yang mau gue pake entar malem."

Sisil masih menatapku penuh kekhawatiran.

"Gue gak papa, Sil." aku menepuk bahunya sekali. "Pak, kita ke butik dulu." pintaku kepada supir.

Aku mengerti kenapa Sisil begitu khawatir terhadapku. Ia tahu betul bagaimana kacaunya aku saat baru kembali dari Solo dulu. Aku bahkan hampir melakukan hal bodoh yang membahayakan nyawaku sendiri waktu itu. Beruntung ia datang sebelum cutter berhasil menyentuh pergelangan tanganku.

"Kalau lo kenapa-kenapa atau ada sesuatu yang pengen lo katakan, bilang aja sama gue." aku tersenyum mendengar ucapannya. Kutarik tubuhnya dan memeluknya dengan erat.

"Makasih, Sil. Makasih."

***

Premier film yang kubintangi baru saja selesai. Senang rasanya saat melihat wajah-wajah puas dari orang-orang yang baru keluar dari studio. Itu berarti film kami tidak mengecewakan. Perjuangan kami tidak sia-sia.

Aku meladeni beberapa orang yang meminta foto bersama kepadaku dan mengobrol sebentar dengan beberapa wartawan. Lawan mainku, Nabil, melakukan hal yang sama di sudut lain.

Aku berpamitan dan berjalan menghampiri Nabil yang sibuk dengan ponselnya, kutepuk pudaknya beberapa kali sampai ia berbalik.

"Selamat atas premier film kita." aku tersenyum lebar kepadanya.

Nabil membalas senyumanku tak kalah lebar. Ia menarik tanganku dan mencium pipi kiriku cukup lama. Mataku membulat karena kaget. Dapat kurasakan bunyi jepretan dan flash kamera mengarah kepada kami.

Aku belum sepenuhnya sadar dari keterkejutanku saat Nabil memeluk pinggangku dan mengarahkanku menghadap gerombolan wartawan di depan kami. Ia meremas pelan pinggangku, membuatku memasang senyum terbaikku.

"Kenalin, Shania Junianatha. Cewek gue." aku menoleh dengan cepat ke arahnya. Apa-apaan dia. Apa dia sudah gila.

Suara jepretan dan flash kamera kembali berlomba, membuat mataku silau.

"Dia cewek gue," Nabil mengeratkan pelukannya, mataku kembali membulat.

***

Hehe, gimana ya...

Stay!Where stories live. Discover now