Part 2

1.1K 95 7
                                    

"Ini apaan!?" aku menyodorkan ponselku ke wajah kak Anton, manajerku.

Lelaki berbadan kekar itu mengambilnya dan membaca portal berita gosip yang aku buka.

"Paling kerjaan orang produksi. Mereka emang ngehubungin gue tadi malam." ujarnya santai.

Aku berdecak. "Kenapa ada begituan segala sih." kesalku.

"Kan lumayan buat naikin rating film lo nanti."

"Harus banget gitu pake beginian." kak Anton mengangkat bahunya.

"Udah sih. Lo nurut aja ini tuh salah satu strategi pemasaran."

"Menjual sensasi yang mengada-ngada." selaku ketus. Kemudian keluar dari ruangan kak Anton tanpa pamit.

Aku menarik tali tas selempang Sisil yang sedang membelakangiku, membuatnya berteriak panik. Staff yang tadi berbicara menjadi tertawa.

"Tolong! Ada yang mau culik gue." aku melepas tarikanku.

"Lebay banget sih lo."

"Siapa tau aja kan beneran ada yang mau nyulik gue. Sekarangkan lagi buming penculikan anak. Gue kan masih kecil kayak anak-anak. Gemesin gitu." cerocosnya.

"Gak ada yang mau nyulik lo. Makan lo banyak." ujarku sambil tertawa kecil karena wajahnya memberenggut.

Kami berdiri di depan lift, menunggunya terbuka.

"Gimana urusan lo?" tanyanya saat kami memasuki lift.

"Kata kak Anton gue harus nurut." aku memencet tombol menuju lantai satu.

"Trus. Kak Boby gimana?" aku menghela nafas.

"Mudah-mudahan gak ngamuk." harapku.

"Lagian kenapa sih kalian gak publikasiin hubungan kalian aja. Dengan begitu masalah terselesaikan. Dia gak bakalan ngegandeng cewek lain lagi. Lo gak perlu terlibat dalam drama kayak gini."

Ada benarnya juga pendapat Sisil. Tapi bagiku. Hubungan percintaanku tidak untuk aku umbar dan menjadi konsumsi publik. Cukup aku, keluarga dan teman-teman dekatku yang tahu.

"Itu privasi gue."

***

Aku duduk di depan meja rias dengan tenang. Seorang penata rias sedang memoles wajahku dengan segala tetek bengek peralatan make up.

"Di luar banyak wartawan dari pagi. Nungguin kamu." mbak Laras, penata rias yang sedang mendandaniku mulai membuka suara.

"Biarin aja, mbak. Mereka cari duitnya begitu." balasku.

"Iya juga sih. Tapi apa kamu gak capek dikejar-kejar mereka terus?" aku tersenyum tipis.

"Sejujurnya capek. Tapi ini udah konsikuensi pekerjaan." ia mengangguk.

"Udah selesai."

"Thanks ya mbak." ujarku.

"Shan, langsung ke sana aja. Reading dulu sebentar. Sepuluh menit lagi kita mulai." ujar sutradara padaku, pak Rudi. Aku hanya mengangguk.

Nabil, lawan mainku langsung tersenyum lebar begitu aku bergabung dengannya. Ia mengambil botol air mineral yang berada di kursi sebelahnya lalu menepuknya.

"Duduk sini, Tan." aku mendengus. Ia masih saja memanggilku dengan panggilan itu.

"Stop manggil gue tante. Emang sejak kapan gue nikah sama om lo." kesalku tapi tetap duduk di sebelahnya. Ia terbahak.

"Sensi amat, buk. Lagian itu tuh panggilan kesayangan dari gue."

"Hmm, terserah lo aja." gumamku.

Stay!Where stories live. Discover now