#18 Sebut Saja Hanimun

Mulai dari awal
                                    

Pak Nugra menyodorkan gelas itu ke gue. "Makasih Pak." ucap gue menerima gelas yang sesuai dugaan gue isinya kopi.

Ululuh tau aja gue lagi butuh kopi. Mata lagi sepet-sepet gini, minum kopi pasti langsung cleng. Apalagi yang buatin lakik sendiri duhduh.

Gue hirup wangi kopi itu sebelum gue tegak isinya. Aroma khas kopi hitam menguar. Gue seruput sedikit setelah beberapa kali meniupnya.

"Akh pait pait pait..." gue mengibas-ngibaskan jemari di depan lidah yang sudah melet-melet.

"Kopi apaan nih. Pait amat." rutuk gue.

Tanpa gue sadari aksi gue itu mengundang tatapan Pak Nugra dan Ibu. Di tatap begitu, gibasan tangan gue melambat lama-lama berhenti. Lidah yang tadinya melet, masuk ke dalam perlahan di gantikan dengan cengiran bloon.

"Saya minta tolong kamu letakkan di meja, bukan untuk kamu minum." ujar Pak Nugra tampak geli.

"Ngomong dong Pak, saya kira tadi buat saya." gue kembalikan lagi gelas itu ke Pak Nugra.

"Makanya tanya dulu."

Sempak nih orang. Malu-maluin gue doang.

Ibu terkikik di tempatnya. "Ya ampun, kalian kok manis sekali sih Nduk Le. Ngingetin Ibu waktu baru jadi manten dulu."

"Kok manis? Pait loh Bu." gue mengernyit melihat Pak Nugra yang menyeruput kopi pait itu santai.

"Sepertinya Ibu mesti buru-buru pergi, ndak enak ganggu manten baru." terdengar suara klakson mobil dari halaman. "Nah itu taksinya sudah datang. Ibu berangkat dulu yo. Akur-akur Le Nduk." Ibu berdiri bersiap pergi.

Loh loh loh Ibu mau kemana. Tiba-tiba pamit gini. Perasaan tadi katanya mau ngomong, lah ini kenapa malah pergi.

"Ibu mau kemana? Katanya mau ngomong?"

"Pulang ke Solo. Barusan kan sudah Ibu jelaskan. Kamu melamun yo?" Ibu berjalan ke depan mengambil tas tangannya. Pak Nugra sudah lebih dulu ke luar membawakan dua koper milik Ibu.

Masa? Apa gue yang ngga denger kali ya. Terlalu fokus sama kopi.

"Ibu bukannya tinggal disini?" tanya gue waktu kami sudah di samping taksi.

"Yo ndak, Ibu kan tinggal di Solo. Rumah ini punyanya Mas Nunug. Dia tinggal di sini sendiri. Yo kalau sekarang berdua sama kamu."

Wadaw berdua doang.

"Yo wes. Ibu pergi dulu." kami mencium punggung tangan Ibu bergantian. "Asalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam." jawab kami berbarengan.

Ibu masuk ke dalam taksi dan sejurus kemudian taksi itu berlalu menyatu dengan jalanan ibukota.

Setelah melepas kepergian Ibu, kami masuk ke dalam rumah. Gue banting tubuh di sofa malas depan TV. Sementara Pak Nugra bertolak ke kamarnya. Heningnya rumah membuat gue terbuai, mata gue semakin berat. Sayangnya baru gue terlayang sedikit. Derap langkah Pak Nugra menarik kesadaran gue kembali.

"Mau kemana Pak?" gue mengucek mata, mengembalikan fokus yang belum sepenuhnya kembali.

Pak Nugra duduk di kursi yang Ibu duduki tadi, memasang sepatu. Ia sudah mengganti pakaiannya dengan jaket parka yang menutupi kaus merahnya. Untuk celana ia memilih jeans levi's yang sudah pudar warnanya. Membuat ia terlihat jauh lebih santai dari biasanya. Di lantai di sampingnya, ada sebuah ransel tergeletak.

Suami Satu Semester (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang