Menara, 14

957 94 21
                                    

"Jika orang-orang ingin menjatuhkanmu, itu menunjukkan bahwa kamu berada di atas mereka,''

*Fourth Dimension*

🍁


Haris Dharmanik, lahir dari keluarga kaya raya, memiliki adik kembar: Delion Dharmanik dan Laluna Dharmanik. Ayahnya adalah owner brand jam tangan ternama di kota. Ibunya adalah anggota dewan kota. Sebagai anak pertama di keluarga Dharmanik, menjadi sempurna adalah mutlak.

Dari kecil Haris sudah dituntut untuk bisa mencerminkan kecakapan dan kesuksesan kedua orangtuanya. Harus juara kelas, mengikuti les akademik dan keterampilan. Mempertahankan atitud bak bangsawan. Menjalin relasi dengan berbagai koneksi penting ibunya di dewan kota, hingga mengikuti rapat-rapat penting perusahaan ayahnya untuk persiapan sebagai Presdir berikutnya.

Haris yang memang cerdas, sopan dan tak pernah membantah, tentu saja akan menjadi pewaris perusahaan yang sempurna di mata kedua orangtuanya. Ibu dan ayahnya selalu bangga memamerkan Haris pada semua teman-teman mereka. Ya, karena semua prestasi yang telah diraih Haris sesuai dengan keinginan mereka.

Tanpa mereka ketahui, Haris menyimpan karakter lain dalam dirinya. Karakter yang terbentuk dari semua kekangan dan paksaan yang telah dia alami sejak kecil dari kedua orangtuanya.

Haris selalu menunjukkan wajah tersenyum di depan semua orang. Namun itu hanya topeng sempurna yang menutupi teriakan, ratapan, protes, kemarahan dan kegilaan dalam dirinya.

Haris tak pernah bisa mengungkapkan jati dirinya karena selalu dikungkung oleh perintah dan larangan dari kedua orangtuanya.

Haris tak menyukai piano. Namun ia selalu dipaksa untuk bisa menguasainya.

Haris tak suka kimia, namun selalu dipaksa untuk menguasainya demi nilai sempurna seperti nilai pelajaran yang lainnya. Tak peduli anak itu harus mengikuti les ekstra demi menguasai pelajaran kimia yang menyita waktu istirahat dan pikirannya. Orang tuanya terus menekan Haris sampai anak itu keluar dari batasnya.

Suatu malam, sehari sebelum ujian kelulusan, darah dari hidungnya menetes di atas buku yang sedang dia baca. Haris segera membersihkan bukunya. Tak ingin buku itu ternodai, karena harganya sangat mahal. Itulah yang diocehkan ibunya pada Haris setiap Haris belajar.

Hingga Haris lebih takut bukunya terkena air hujan daripada dirinya yang basah kuyup.

Tiba-tiba ibunya masuk ke kamar Haris. Sambil membawakan buku yang lain. Ia senang melihat Haris masih belajar walau sudah larut malam.

Saat ibunya mendekat, ia mendapati ada darah di hidung anaknya. Haris berkata, "Ma, aku sepertinya mimisan,"

"Oh. Lap saja dengan tisu. Hati-hati jangan sampai kena bukunya ya. Karena ini sangat mahal. Ini buku lainnya, harus banyak referensi, supaya pintar,"

Ibunya lalu keluar dari kamar Haris sambil melemparkan senyuman hangat. "Semangat ya sayang," lalu pintu ditutup.

Haris menyeka mimisannya dengan lengan. Ia menatap darah itu lalu tersenyum. Senyuman itu mengambang hingga akhirnya menjadi tawa yang sejadi jadinya. Dari sanalah Haris menyadari kalau orang tuanya lebih menganggapnya sebagai budak daripada anak.

Budak yang akan melindungi tuannya dari cemoohan apapun tentang ketidaksempurnaan.

Haris menendang kaki meja belajarnya, lalu menutup wajahnya dan menangis sejadi-jadinya. Bagaimana mungkin harga sebuah buku lebih mahal daripada nyawa anaknya?

Jika dipikir lagi, memang, dari dulu ibunya lebih mengkhawatirkan prestasi Haris daripada kesehatannya. Tak ada kasih sayang. Perhatian hangat. Atau pelukan karena sayang. Yang ada hanya pujian karena telah berhasil meraih peringkat terbaik di sekolah, dan pelukan karena bangga telah berhasil mencapai prestasi yang membanggakan.

Haris merebahkan dirinya di kasur. Matanya sembab, dia masih terisak. Haris menutup matanya. Ia ingin pergi ke dimensi empat, menemui sahabat anomnya, si mata kuning. Haris selalu pergi ke dimensi empat untuk bermain dengan sahabatnya itu. Dimensi itu adalah tempat Haris untuk melarikan diri dari dunia nyata.

Haris menyadari dia memiliki semacam kemampuan supranatural sejak ia kecil. Ia lantas tertarik dengan dimensi itu karena dengan begitu dia bisa sendirian tanpa kekangan kedua orangtuanya.

Suatu pagi saat sarapan, papa marah-marah pada Delion. Lantaran anak lelaki bungsu itu tidak belajar tadi malam padahal hari ini adalah ujian kenaikan kelas.
"Kau mau jadi apa nanti hah? Kau selalu saja seperti ini! Tidak mau belajar! Tidak pernah juara! Selalu saja membuatku malu! Apa yang bisa aku banggakan darimu? Lihat abangmu, Haris! Dia sudah mencontohkan yang terbaik padamu, kenapa kau tidak menjadi sepertinya?"

Delion yang siap memasukan potongan daging ke mulutnya, lantas melempar garpu itu ke atas piringnya. Selera makannya sudah hilang.

"Aku punya hidupku sendiri! Daripada menyuruhku menjadi orang lain, kenapa tidak mendukungku dengan apa yang Kusuka," "Ah, aku lupa, kalian bukan orang yang seperti itu, kalian hanya mementingkan diri kalian sendiri," Del menatap bergantian mamanya dan papanya.

Lalu dia berdiri dan menyandang tasnya.

"Apa kau bilang?! Dasar anak kurang ajar!" Ayah Del meradang. Ibunya berusaha menenangkan.

"Aku akan pergi dari rumah ini. Kepalaku sakit!" ungkap Del lalu berjalan santai keluar.

Mama Del beranjak dari kursinya, mengejar anak bungsu laki-lakinya. Ya, bagaimanapun ibu mana yang tidak akan khawatir kalau anaknya akan pergi dari rumah. Apalagi, saat anakmu yang satunya, tengah terbaring di rumah sakit.

Ya, Laluna Dharmanik. Kembaran Delion. Mengalami koma sejak usia 6 tahun. Sudah 10 tahun sejak Luna pertama kali dibawa ke rumah sakit, hingga hari ini, dia belum juga terbangun.

Melihat punggung Del yang berlalu, Haris tersenyum. Dalam diam, dia memberikan standing applaus pada adiknya itu. Haris iri melihat Del yang memiliki kekuatan untuk menyuarakan isi hatinya. Berbeda dengannya, yang terlalu pengecut.

Namun sisi hatinya yang lain juga merasakan senang. Karena kini, kasih ibu dan ayahnya hanya akan ada untuknya. Ya, bagaimanapun Haris yang haus kasih sayang, sangat iri melihat kedua adik kembarnya selalu disayang oleh mamanya.

Digendong, dipeluk, disuapi makan hingga ditangisi saat mereka sakit. Itu adalah kasih sayang yang diharapkan Haris dari mamanya.

Namun, dia tak pernah mendapatkannya, sejak orang tuanya tahu kalau Haris adalah anak yang genius. Mereka lebih memperhatikan otaknya daripada hatinya.

Hingga suatu hari saat Haris terjerat masalah di dunia Anom, dia pun menjadikan Laluna sebagai tumbalnya. Ya, Laluna, telah dijual jiwanya oleh Haris sebagai jaminan atas pelanggaran yang dilakukan Haris di dimensi empat.

Jiwa Laluna masih ada di dimensi empat. Tepatnya di dalam menara kerajaan Anom. Menara itu membutuhkan jiwa manusia untuk memperoleh kekuatan guna menguatkan Istana.

Jika Laluna mati di dunia manusia. Maka jiwanya yang ada di dalam menara akan menghilang. Lalu menara akan diisi dengan jiwa manusia yang lainnya. Itulah kenapa jiwa manusia sangatlah berharga bagi bangsa Anom terutama bagi Anom yang mengabdi pada Istana tanah hitam.

Itulah mengapa Haris tetap merawat tubuh Laluna di rumah sakitnya. Agar dia tidak perlu mencari pengganti jiwa lagi untuk menara Istana.

Sampai suatu hari, di tahun kedua Laluna di menara, Haris kehilangan sahabat anomnya, dari clan mata kuning. Dia menghilang begitu saja. Haris curiga kalau sahabatnya telah disembunyikan oleh Istana. Karena mungkin pihak Istana tahu si mata kuning berteman dengan Haris. Sebab ada peraturan di dunia itu kalau Anom tidak boleh berteman dengan manusia.

Namun Haris belum menemukan bukti. Sejak itu, Haris sering menjelajahi dimensi empat hanya untuk mencari sahabat anomnya. Hingga kini Haris masih terus mencarinya.

Sampai suatu hari Haris menemukan pelintas dimensi lain di sekolah Del. Dia adalah seorang gadis bernama, Edrin Wijaya.

Haris akan memperdaya Edrin untuk membantunya mencari si mata kuning di dunia Anom. Jika berdua, pasti lebih cepat menemukannya.

👣👣👣Fourth Dimension👣👣👣

*
1161 words

Mulai terbuka masa lalu Haris, Del, dan Luna ya :)

the fourth dimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang