Namun sekarang nasi sudah menjadi bubur. Menyesal pun ia sudah tidak bisa karena pernikahan antara Jo Yeonhee dan Perdana Menteri Han tak memberinya pilihan. Ia hanya bisa berharap putri kesayangannya bisa hidup dengan baik ke depannya.
"Kau benar, Yeonhee memang anak yang cerdas," Tuan Jo mengangguk setuju, lalu memasang senyum untuk menutupi kekhawatirannya, "kalau saja ia laki-laki, mungkin dia yang akan menjadi penerus keluarga kita dan bukannya dirimu."
Sudut bibir Yeonsik berkedut. Tapi ia tak tersinggung dan hanya membalas dengan ringan, "Ya Abeoji, kalau saja Yeonhee laki-laki, Saya juga tak akan keberatan dia yang jadi penerus keluarga kita," katanya membenarkan, "tapi, Abeoji tak boleh lupa satu syarat lagi."
"Apa itu?"
Yeonsik memasang wajah datar, "Yeonhee bisa jadi penerus kalau ia tidak semalas biasanya."
Tuan Jo kehilangan kata-kata dan hanya menggaruk hidungnya canggung. Apa yang Yeonsik katakan memang benar soalnya. Kalau dipikir, kenapa putrinya tumbuh jadi pribadi yang pemalas seperti itu? Sedangkan kepribadian putranya penuh pertimbangan dalam segala situasi. Tapi satu kesamaan mereka berdua, keduanya ahli kalau berdebat dan membuat orang lain kehilangan kata-kata. Bahkan dia sendiri bukan lawan mereka.
Tuan Jo memilih untuk mengalihkan pembicaraan, "Aku tak akan menahanmu lebih lanjut. Sebaiknya kau berangkat sekarang."
Yeonsik hanya tersenyum melihat ayahnya yang kehilangan kata-kata. Ia mengangguk kemudian menaiki kudanya, "Kalau begitu, Saya berangkat sekarang, Abeoji."
Tuan Jo tak berkata banyak dan memberi beberapa pesan singkat pada Yeonsik sebelum membiarkan putranya pergi. Ia melepas kepergian Yeonsik di depan gerbang kediaman Jo dan memandangi punggung putranya sejenak sebelum kembali masuk ke kediamannya.
Butuh waktu sekitar sejam ke kediaman Perdana Menteri Han berkuda dengan kecepatan penuh. Begitu sampai di sana, Jihan sendiri yang menyambutnya secara langsung di paviliun utama. Keduanya saling berbagi salam sopan selayaknya biasa. Yeonsik mengedarkan pandangannya, ia tak melihat tanda-tanda keberadaan Yeonhee. Hatinya mulai was-was dan ia sudah bisa menebak di mana adiknya, tapi kali ini ia benar-benar berharap tebakannya salah.
"Perdana Menteri, Yeonhee...?" Yeonsik bertanya ragu setelah menimbang-nimbang beberapa saat.
Jihan hanya memasang senyum bersalah, "Kakak Ipar, beberapa hari ini Yeonhee cukup kelelahan jadi ia tidur lebih lama dari biasanya. Sekarang ia masih tidur dan Saya tidak tega membangunkannya. Mohon Kakak Ipar jangan tersinggung dan membiarkannya tidur sebentar lagi."
Yeonsik nyaris tersedak air liurnya sendiri. Ia benar-benar tak menyangka adiknya tetap mempertahankan kebiasaan tidurnya bahkan setelah menikah. Saat Seryung mengatakan kalau Yeonhee masih memiliki kebiasaan untuk bangun lebih siang, ia pikir waktu itu hanya karena malam sebelumnya Yeonhee menghadiri jamuan di istana sehingga tidur terlambat dan berpikir kalau itu hal yang wajar. Tapi sepertinya bukan seperti itu kebenarannya....
Yeonsik melirik Jihan dan memperhatikan raut wajah adik iparnya dengan lekat. Ia tak melihat ada raut keberatan di wajah Jihan dan itu membuat perasaannya sedikit tenang. Jihan mengajak Yeonsik duduk sementara menunggu. Ia menyuruh Mu Tong menyiapkan teh dan beberapa kue kecil sembari melanjutkan memberi alasan kenapa Yeonhee bangun lebih siang.
Sebenarnya Yeonsik ingin menyuruh Jihan berhenti karena ia sudah tahu kebiasaan adiknya dari dulu. Tapi melihat Jihan yang begitu serius membela Yeonhee seolah takut nanti Yeonsik akan memarahi adiknya itu membuat Yeonsik tak bisa membuka mulut untuk bicara. Yeonsik hanya bisa menurunkan pandangannya tak tahu harus merasa malu atau bersyukur karena Jihan bisa menerima kebiasaan adiknya.
VOUS LISEZ
A Bride Without Virtue
Fiction HistoriqueKarena dekrit dari Raja mereka berdua terikat dalam pernikahan. Bagi Yeonhee, yang terpenting adalah menikmati hidupnya dengan santai. Karena itu, ketika di malam pernikahan mereka suaminya berkata, "Aku bisa memberikanmu semua yang kau ingink...
^17^
Depuis le début
