Prologue

1.2K 166 70
                                    

"You think you know me? Hell no! I am a different human, Honey. You want to know?"

•••

"Wow, ada paparazi rupanya."

Pria tua itu mundur dengan gemetaran, matanya serasa copot melihat ajal seseorang di hadapannya terjadi begitu saja. Ia hendak berdiri dan pergi dari sana. Namun, ternyata pergelangan tangannya ditahan.

"A-apa yang kau mau?!"

"Tutup mulut atau mati?" bisiknya di telinga pria tua itu.

Pria tua itu melirik ke arah orang yang baru saja dibunuh tersebut. Bau amis tercium begitu menyengat, darahnya sangat segar mengingat ajalnya baru saja tiba.

Jimin mengikuti arah pandang pria itu. Ia menyeringai dengan alis yang terangkat. Pisaunya masih berada di tangannya. Tentu saja Jimin tidak bisa melepas pria tua itu begitu saja. Sebelum dirinya membunuhnya, maka urusan belum selesai.

"Dengar, sekali kau melihatku, maka kau akan berurusan denganku. Sampai kau mati."

Jimin tersenyum ketika melihat perubahan ekspresi pria tua tersebut. Hingga akhirnya meronta-ronta dan melarikan diri.

Jarinya memainkan pisau lipatnya, ia mengeluarkan sapu tangannya, lalu membersihkan pisaunya dari bercak darah itu. Seringaiannya tercetak sangat tajam di sana.

"Pria tua memang menyusahkan."

Jimin terkekeh pelan. "Sepertinya membunuh satu orang lagi itu tidak apa-apa."

"Freddie, urus mayat menjijikan itu. Aku harus mengejar pria tua tadi." Jimin memerintah pada Frederick untuk mengurus seseorang yang baru saja ia bunuh itu.

•••

"Apa yang kau lakukan?"

"Kau sudah mengetahuinya, Jeha, kenapa harus bertanya lagi?"

"Brengsek! Apa kau tidak bisa berhenti untuk melukai orang?"

Jimin melihat bayangan dirinya di cermin, ia terkekeh dengan kejam. Lalu, mengedikkan bahunya acuh. Ia tidak mau terlalu repot untuk memikirkan hal tidak penting tersebut.

Jimin melonggarkan dasinya dan melepasnya. Disusul dengan kemejanya, menampilkan otot-otot ditubuhnya yang sangat indah itu.

"Iblis tidak bermoral!"

"Aku manusia, bukan iblis."

"Manusia macam apa yang hanya bisa membunuh orang secara acak?"

"Aku tidak membunuh sembarang orang. Lagi pula, kau tidak tahu masalah apa yang sudah terjadi," dengus Jimin kesal.

"Kau gila?!"

"Tenanglah, Jeha, orang-orang tidak akan mengetahui hal itu. Aku sudah membereskannya."

"Tanganmu sudah seperti pisau tajam yang membunuh orang tidak berdosa."

Jimin tertawa dengan keras di sana, matanya menajam dan menatap ke arah pantulan dirinya. Ah, wajahnya yang menegang itu kembali menyeringai.

"Tanganku adalah tanganmu juga, Jeha."

"Aku tidak pernah sama denganmu!"

"Sekeras apapun kau mengatakan, hal itu tidak akan mengubah apapun, Jeha. Kau tidak usah banyak bicara. Seharusnya kau berterima kasih pada saudaramu ini yang sudah menyelamatkanmu dari kematian."

"Bajingan! Aku tidak pernah menganggapmu saudara."

"Aku hanya ingin mendengar rasa terima kasihmu padaku, bukan umpatan. Kau terlalu lemah untuk hidup. Perasaan hanya akan membuatmu tersiksa, kemudian mati sia-sia."

•••

Jimin memasuki rumahnya dengan elegan di sana. Suara sepatunya terdengar sangat mengerikan di tengah kegelapan malam ini.

Dengan tegas, kaki itu melangkah ke sebuah ruangan. Ketika pintu terbuka, matanya menatap tajam di sana. Pemandangan yang Jimin sukai, seorang wanita yang sudah mengusik hidupnya.

"Lepaskan aku, brengsek!"

Jimin duduk di tepian ranjang dan menatapnya. Seringaiannya tercetak begitu jelas dan sangat mengerikan. Tangannya bergerak untuk membelai wajah cantik itu.

"Calm down, Honey. Do you miss me?"

"Lepaskan aku, bajingan! Aku bukan tawananmu di sini!"

Jimin menggelengkan kepalanya dan menatapnya tajam. "Tidak bisa, Nona. Aku sudah cukup gila karena kau menghilang begitu saja."

"Lepaskan aku dan kembalikan bayiku!"

"Bayi kita, Sayang. Tanpa aku bayi itu tidak ada."

Jimin memejamkan matanya ketika wanita itu meludahi wajahnya. Ia terkekeh, kemudian mengusap wajahnya dengan sapu tangannya. Wanita ini cukup berani rupanya.

"Kau mau mati, ya?" desis Jimin sembari mencekiknya.

Bukannya terkejut, Jimin justru senang ketika wanita itu kesulitan bernapas. Cekikannya semakin kencang hingga membuat wajahnya memerah. Dirasa hampir meregang nyawa, Jimin melepaskannya dan melihat wanita itu terbatuk-batuk.

"Kau cukup berani, aku tidak suka."

"Kenapa kau tidak membunuhku saja? Kenapa aku harus berurusan dengan pria bajingan sepertimu?" lirihnya.

"Kau lupa tentang pertemuan kita dahulu? Mau kuceritakan kembali?"

"Brengsek! Lebih baik kau mati."

"Aku hanya menawarimu untuk menceritakan kisah kita bukan mati."

"Psikopat gila!"

"Bukan. Aku hanya membantu Tuhan untuk mencabut nyawa seseorang dengan cepat. Jadi, kau mau mendengarkannya atau tidak?"

"Apa kau—"

"Kuanggap iya. Baiklah, dengarkan baik-baik. Ini kisah menyenangkan, Nona."

"Lebih baik aku menembakkan kepalaku saja daripada mendengar suaramu!"

"Tidak bisa, karena hanya aku yang berhak menembak kepalamu. Tapi, kali ini aku tidak akan menembakmu."

"Pengecut."

"Diam, aku hanya akan bercerita tentang kisah kita." Jimin berdeham pelan dan menyeringai. "Jadi, begini kisahnya ...."

---
Wah Jimin punya bayik? 😚
Siapa Jeha? 🌚


Don't forget to vote and comment. See u guys 💜😚

Hidden ShadowHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin