"Aaaarrghh," jerit Veranda ketika tiba-tiba saja pemuda itu menancapkan pisau ke dalam perutnya.

Lutut Veranda bergetar hebat seolah tidak mampu lagi menahan tubuhnya yang sudah semakin lemas. Tubuh Veranda langsung terduduk dengan kedua lutut yang digunakan untuk bertumpu. Ia menggigir bibir bawahnya berusaha menahan rasa sakit yang mulai merajai tubuhnya saat ini. Tanpa diduga sebelumnya, tubuh Veranda benar-benar ambruk terbaring lemah di jalanan. Pandangannya kabur, samar-samar ia melihat pemuda itu membuka helmnya dan memperlihatkan wajah asli. Namun percuma, Veranda tidak bisa melihat wajah pemuda itu dengan jelas.

Sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, dengan sekuat tenaga Veranda mencabut pisau didalam perutnya lalu melemparkannya tepat pada wajah pemuda itu. Ia hanya bisa mendengar ringisan pemuda itu kemudian kesadarannya menghilang. Kegelapan kini menguasai pandangannya.


***


Perlahan Veranda membuka matanya, ekor matanya bergerak melihat ke sekeliling yang serba putih. Tubuhnya terasa sangat lemas dan sakit.

"Akhirnya kau sadar, Ve!" seru Naomi menggenggam erat tangan Veranda kemudian menciumnya lembut beberapa kali. "Siapa yang sudah melukaimu? Kenapa ini bisa terjadi? Ve, aku merindukanmu." Air mata Naomi pecah, tangan Veranda yang masih digenggam ia letakan dipipinya.

Veranda mengangkat sedikit kepalanya untuk melepaskan masker oksigen yang sedikit menghalanginya itu. "Kenapa aku bisa ada disini?"

"Ada warga yang menghubungi Polisi karena melihat seorang gadis terluka. Aku memeriksanya dan ternyata itu kau!" Naomi semakin histeris ketika membayangkan tubuh Veranda yang bersimbah darah. "Untung saja kau segera dibawa ke Rumah Sakit. Selama empat hari kau tidak sadarkan diri."

Veranda tersenyum tipis kemudian mengusap lembut pipi Naomi yang sudah sangat basah oleh air matanya. "Tidak perlu cemas, aku baik-baik saja."

"Siapa yang sudah mencelakaimu?" tanya Naomi menghapus kasar air matanya lalu menatap Veranda sedikit serius.

Veranda menutup matanya, berusaha memutar pikiran pada kejadian malam itu saat dirinya diserang. "Ada tiga orang pemuda yang menyerangku saat itu." Veranda kembali membuka matanya lalu menatap Naomi, "aku tidak tau siapa mereka, mereka memakai helm dan saat helmnya dibuka, aku sudah tidak bisa melihat wajahnya," lanjutnya seakan mengetahui apa pertanyaan yang akan Naomi lontarkan selanjutnya.

"Aku akan mencari tau siapa mereka. Mereka akan tanggung akibatnya karena sudah berani mencelakai orang yang aku cin---" Naomi menggantungkan ucapannya. Ia buru-buru mengalihkan pandangannya dari Veranda dan mendadak bungkam tanpa berniat meneruskan kembali ucapannya.

Veranda tersenyum lalu mengangkat sedikit dagu Naomi agar menatap kepadanya. Untuk beberapa detik ia tenggelam dalam tatapan itu, entah kenapa tatapan Naomi selalu mampu menjerat semua perhatiannya hingga berpaling pun rasanya sangat sulit. Veranda mengusap lembut pipi Naomi dan kembali tersenyum. "I love you."

Tubuh Naomi menegang. Matanya terpasung oleh tatapan Veranda tanpa bisa berkedip sekalipun. Ia sama sekali tidak memperdulikan degup jantungnya yang berpacu sangat cepat.

"Mi." Veranda menarik tangannya dari pipi Naomi kemudian memegang perutnya yang tiba-tiba saja sakit. Matanya terpejam berusaha meredakan rasa sakit itu tanpa hasil.

Naomi segera tersadar dari lamunannya kemudian mengerjap. "Sakit sekali, ya?" tanyanya khawatir.

Veranda membuka matanya kembali lalu menggeleng pelan. Senyuman kembali terlukis dari wajahnya. "Tidak."

Waktu (END)Where stories live. Discover now